Pengelolaan Mata Pelajaran Pilihan di SMAN 3 Malang

Malang, PSKP - Bulan Mei lalu Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Anindito Aditomo, bersama tim monitoring dan evaluasi (monev) dari Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP), BSKAP, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) berkunjung ke Kota Malang, Provinsi Jawa Timur, untuk memotret implementasi Kurikulum Merdeka di daerah, khususnya di SMAN 3 Malang dan SD Kristen Kalam Kudus.


Kunjungan ini dimaksudkan untuk secara komprehensif memahami proses adaptasi perubahan kurikulum yang diimplementasikan di satuan pendidikan, serta peran, dukungan, dan respons berbagai pihak terkait dalam mendorong implementasi Kurikulum Merdeka di daerah dan satuan pendidikan. Untuk itu, tim monev PSKP melakukan observasi pembelajaran, wawancara dengan kepala sekolah, guru, pengawas, dan dinas pendidikan. 


Dalam kunjungan ke SMAN 3 Malang, Kepala BSKAP dan tim monev PSKP melakukan diskusi dengan  Kepala Seksi Pendidikan Menengah Atas, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus, Kantor Cabang Dinas Wilayah Malang dan Batu, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Kepala SMAN 3 Malang, dan beberapa perwakilan guru SMAN 3 Malang. Diskusi membahas beberapa hal mulai dari pengetahuan awal sekolah tentang Kurikulum Merdeka, proses implementasinya, kendala-kendala yang dihadapi oleh sekolah, serta inovasi maupun praktik baik yang dilakukan oleh sekolah.



Salah satu tantangan yang dihadapi satuan pendidikan jenjang SMA dalam struktur Kurikulum Merdeka adalah penghapusan peminatan. Peserta didik tidak lagi tersekat dengan pemilihan program/jurusan, melainkan dapat memilih lintas rumpun mata pelajaran. Ini merupakan angin segar bagi peserta didik, namun ada kemungkinan mata pelajaran yang kurang “populer” tidak banyak dipilih oleh peserta didik. Terkait hal ini, Kepala SMAN 3 Malang menyampaikan bahwa di SMAN 3 Malang ada kecenderungan peserta didik banyak memilih mata pelajaran pilihan eksakta karena keinginan sebagian orang tua agar anaknya kuliah di medical science  dan teknik. Dengan begitu akan banyak kelas rumpun mata pelajaran eksakta-sosial yang dibuka, sedangkan bagi kelompok mata pelajaran bahasa dan prakarya-kewirausahaan diprediksi hanya sedikit kelas dengan sedikit siswa. 



Setelah melakukan sosialisasi dan dialog dengan orang tua peserta didik dan guru Bimbingan Konseling (BK), kemudian SMAN 3 Malang menyiapkan paket-paket mata pelajaran pilihan. Sekolah berinisiatif untuk membuka 10 paket mata pelajaran pilihan sebagai win-win solution bagi peserta didik dan guru. Paket-paket mata pelajaran pilihan dibuat berdasarkan pertimbangan beberapa hal, yaitu: hasil pemetaan jurusan/program studi yang diinginkan peserta didik, pemetaan mata pelajaran pilihan yang akan dipilih peserta didik, pemetaan kebutuhan pemenuhan beban kerja guru. 

“... Pemetaan pertama BK mengarahkan anak-anak untuk berkomunikasi dengan orang tua terkait mata pelajaran pilihan… pemetaan kedua saya sebagai Waka kurikulum juga menganalisis kebutuhan guru guru di sekolah semua mata pelajaran…” (Wakil Kepala Kurikulum SMAN 3 Malang)

Sebagai contoh, “Teknik - 1” berisi mata pelajaran Matematika tingkat Lanjut, Fisika, Kimia, Bahasa Jerman, Prakarya & Kewirausahaan. Paket lainnya yaitu "Medical Science - 2" berisi mata pelajaran Biologi, Kimia, Fisika, Bahasa Inggris Tingkat Lanjut, Prakarya & Kewirausahaan. Contoh lainnya, paket "Sosial Humaniora - 1" yang berisi mata pelajaran Sosiologi, Ekonomi, Informatika, Bahasa Jepang, Prakarya & Kewirausahaan. Dari ketiga contoh paket di atas bisa terlihat bahwa sekolah menggabungkan rumpun mata pelajaran eksakta-sosial dengan rumpun mata pelajaran bahasa-prakarya, untuk mengakomodasi kebutuhan guru bahasa dan prakarya yang bisa jadi dalam satu sekolah bukan menjadi mata pelajaran “populer”.

Dengan dibuatnya paket-paket mata pelajaran pilihan tersebut, diharapkan dapat mewadahi kepentingan semua pihak, baik siswa, guru, satuan pendidikan, dan orang tua. Usaha satuan pendidikan menerjemahkan kebijakan pusat yang bersifat umum untuk kemudian diimplementasikan sesuai konteks sekolah patut diapresiasi. Praktik ini dinilai sangat solutif dan sama sekali tidak menyalahi aturan yang berlaku. Harapannya akan muncul praktik baik-praktik baik dari satuan pendidikan lainnya yang mencerminkan bahwa satuan pendidikan bukan hanya mengimplementasikan kebijakan yang dibuat oleh pusat tetapi mengadaptasi kebijakan tersebut sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.