Diskusi Tematik “Rindu Belajar Tatap Muka: Seberapa Siap Sekolah Kita?”
Jakarta, Kemendikbud – Terhitung
sejak pertengahan bulan Maret 2020, kegiatan pembelajaran terpaksa dilakukan
dari rumah demi mencegah risiko penularan COVID-19 di lingkungan sekolah. Dalam
pelaksanaannya, ada banyak sekali tantangan yang menjadikan proses belajar dari
rumah ini tidak berlangsung efektif. Beberapa di antaranya seperti guru tidak
dapat menyampaikan materi pelajaran secara maksimal, siswa yang juga tidak
dapat memahami materi yang diajarkan, dan orang tua yang kewalahan dalam
mendampingi proses belajar anak di rumah. Selain faktor akademik, hal lain yang
juga turut mengemuka adalah terkait aspek psikologis anak. Tidak sedikit anak
yang merasa bosan dan ingin kembali bersekolah agar bisa berinteraksi dengan
teman-teman seperti sedia kala. Tak heran ada banyak tuntutan dari masyarakat
agar pemerintah dapat selekasnya membuka kembali sekolah untuk kegiatan pembelajaran
tatap muka.
Tema inilah yang diangkat
menjadi topik bahasan dalam “Diskusi Tematik: Rindu Belajar Tatap Muka: Seberapa
Siap Sekolah Kita?" yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian
Kebijakan (Puslitjak), Balitbang dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, yang dilakukan secara daring melalui webinar pada hari Kamis, 30
Juli 2020. Diskusi ini dibuka oleh plt. Kepala Pusat Penelitian Kebijakan,
Irsyad Zamjani, yang juga turut mengundang lima narasumber ahli, diantaranya Susanto
selaku Ketua KPAI; Desiana selaku Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga
Kota Sabang, Aceh; Bambang Aryan Soekisno, Kepala Sekolah SMAN 1 Bogor; Fedri
Ruluwedrata Rinawan selaku dokter, peneliti dan dosen di Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, Bandung; serta Lukman Solihin selaku peneliti Muda dari Pusat
Penelitian Kebijakan, Balitbang Perbukuan Kemendikbud.
Diskusi diawali dengan pemaparan Lukman Solihin terkait hasil Survei
Kesiapan Pembukaan Kembali Sekolah Di Masa Kenormalan Baru yang dilakukan tim
Puslitjak, Balitbang dan Perbukuan Kemendikbud. Survei yang dilakukan pada
tanggal 6 sampai dengan 15 Juli 2020 tersebut bertujuan mengukur sejauh mana kesiapan dari dinas, kepala sekolah,
guru maupun orang tua dalam pembukaan
kembali sekolah untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka. Hasil survei
menunjukkan bahwa secara umum, baik dinas pendidikan, sekolah, guru maupun
orang tua sudah cukup memenuhi aspek kesiapan pembelajaran tatap muka, namun
masih ada beberapa aspek tertentu yang perlu ditingkatkan. Dari kesiapan yang
sudah dilakukan dinas pendidikan, aspek yang perlu ditingkatkan adalah terkait keberadaan
pos pendidikan sebagai sekretariat penanganan COVID-19 di bidang pendidikan.
Sedangkan dari segi kesiapan sekolah, aspek yang masih perlu ditingkatkan
adalah ketersediaan sarana kebersihan dan perlengkapan kesehatan. Sarana
dan prasarana kebersihan dan kesehatan di sekolah perlu menjadi perhatian utama
sebelum diterapkannya protokol kesehatan. Pendataan
kondisi warga sekolah secara berkala juga tidak kalah penting, namun sayangnya belum
banyak dilakukan oleh sekolah.
Surat Keputusan Bersama 4 Menteri telah menyatakan bahwa kesediaan
orangtua menjadi prasyarat untuk pelaksanaan pembelajaran tatap muka. Survei
ini menunjukkan bahwa hal utama
yang menjadi pertimbangan orang tua mengizinkan anak belajar tatap muka adalah
aspek pencegahan dan penanganan Covid-19 di sekolah. Beberapa upaya pencegahan
dan penanganan tersebut yaitu ketersediaan sarana kebersihan, penerapan
protokol kesehatan, dan adanya kerja sama sekolah dengan fasilitas kesehatan
terdekat. Ini yang kemudian perlu didorong oleh pemerintah daerah agar sekolah
dapat lebih tersiapkan jika nanti aktivitas pembelajaran di sekolah akan dilakukan
kembali.
Diskusi berlanjut pada paparan tentang perlindungan
anak dan hasil survei yang dilaksanakan oleh KPAI di 34 provinsi, yang mencakup
25000 responden siswa SD, SMP dan SMA dan 14000 responden orang tua. Survei
tersebut menunjukkan kekerasan dalam berbagai bentuk pada siswa rentan dialami
siswa selama pembelajaran di rumah. Siswa mengalami berbagai bentuk kekerasan
seperti dicubit (23%), dipukul (10%), dan dijewer (9%). Ironisnya, pelaku
kekerasan adalah orang terdekat siswa, yaitu ibu (60%), kakak/adik (36%), dan
ayah (27%). Tidak hanya kekerasan fisik, anak juga mengalami kekerasan psikis
selama pandemi covid-19, seperti dimarahi (56%), dibandingkan dengan anak lain
(36%), dibentak (23%), dipelototin (13%), dll. Survei ini juga menjaring
beberapa aspirasi dari anak-anak terkait pelaksanaan PJJ, yaitu diantaranya
pengurangan jumlah tugas harian, perpanjangan waktu untuk pengumpulan tugas,
penjelasan materi pelajaran dari guru secara daring, serta bantuan kuota
internet dari pemerintah untuk pelaksanaan pembelajaran jarak jauh.
Kepala Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kota Sabang, juga turut berbagi cerita dan
pengalaman di daerahnya. Kota Sabang merupakan zona hijau sehingga telah lebih
siap menerapkan strategi pencegahan COVID-19 karena berkaitan dengan persiapan
dan pelaksanaan pembelajaran tatap muka kembali di sekolah. Sebelum
dilaksanakannya pembelajaran tatap muka, Disdikpora Kota Sabang berkoordinasi
dengan berbagai pihak seperti Walikota
Sabang, Tim Satuan Tugas COVID-19 Kota Sabang, dinas kesehatan dan Polres Kota.
Disdikpora juga rutin berkoordinasi dengan Kepala Sekolah tentang kesiapan
masing-masing sekolah.
Dalam praktiknya,
Disdikpora membatasi waktu pembelajaran tatap muka di sekolah dari pukul
08.00-12.00. Mekanisme pelaksanaannya diserahkan
pada kondisi masing-masing sekolah. Ada sekolah yang membagi kelas menjadi 2
kelompok, yaitu kelompok minggu ganjil dan kelompok minggu genap yang disusun
berdasarkan urutan daftar urut siswa, adapula yang membuat penjadwalan harian pada
setiap jenjang kelas. Beberapa sekolah juga menerapkan pembelajaran setiap hari,
khususnya bagi sekolah yang jumlah rombongan belajarnya sedikit. Dalam pembelajaran,
sekolah juga dapat memanfaatkan ruang-ruang lain yang dimiliki, seperti
laboratorium dan perpustakaan untuk mencukupi kebutuhan ruang belajar di
sekolah dan menghindari berkumpulnya siswa dalam jumlah besar dalam satu
ruangan. Berbagai ketentuan ini bersifat fleksibel, termasuk bagi siswa yang
tidak diizinkan oleh orangtua untuk belajar tatap muka di sekolah, tetap
diperbolehkan belajar secara daring dari rumah.
Diskusi kemudian
dilanjutkan dengan pemaparan dari Bambang Aryan Soekisno, selaku Kepala Sekolah
SMAN 1 Kota Bogor. Ia mengawali paparannya dengan berefleksi atas pelaksanaan
proses belajar dari rumah yang sudah berlangsung sejauh ini. Ada banyak keluhan
dari orang tua dan juga siswa selama BDR, misalnya saja keterbatasan perangkat,
kuota dan juga sinyal, waktu pembelajaran yang berkurang, jadwal pelajaran
tidak tersusun dengan baik, pembelajaran yang membosankan, dan lain sebagainya.
Pada awal proses BDR, guru-guru
menggunakan beberapa aplikasi dan media dalam melakukan pembelajaran daring,
sehingga pihak sekolah memfasilitasi kebutuhan tersebut dengan membuat aplikasi
LMS secara mandiri. DIGI-SMANSA merupakan aplikasi kelas virtual buatan SMAN 1
Bogor yang bertujuan agar pembelajaran dapat dijalankan seperti layaknya
di dalam kelas di masa normal. Dalam mendukung kebijakan ini, guru-guru
dipersiapkan agar mampu mengoperasikan kelas virtual dan menjadi lebih terbiasa
mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran. Dalam proses persiapan pembelajaran
tatap muka, SMAN 1 Bogor juga membentuk satuan tugas penanganan COVID-19 yang
turut melibatkan orang tua siswa. Menariknya, sekolah ini juga menyediakan
Box DisinfeX, yang dipergunakan untuk
mendisinfeksi barang-barang seperti tas sebelum masuk ke area sekolah sehingga
diharapkan mengurangi masuknya virus melalui perantara barang-barang milik
siswa atau guru. Box DisinfeX ini
merupakan hasil kerjasama antara sekolah dan komite sekolah.
Fedri Ruluwedrata
Rinawan dari Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Padjadjaran,
menjadi pamungkas sesi pemaparan narsumber dalam diskusi yang berlangsung
selama tiga jam tersebut. Akademisi tersebut mengawali paparannya tentang kondisi
kapasitas testing laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari
sel, bakteri, atau virus (polymerase
chain reaction/PCR)
di Indonesia
yang masih sangat rendah. Hal ini kemudian berpengaruh dalam menentukan zona
suatu wilayah yang bersifat sangat dinamis dalam beberapa kategori: hijau,
kuning, oranye dan merah. Keterbatasan testing ini misalnya saja berdampak
pada simpulan bahwa daerah yang tergolong kategori zona hijau, bisa jadi
disebabkan karena kapasitas testing di daerah tersebut yang belum
memadai dan bukan berarti daerah tersebut memiliki risiko penyebaran virus yang
lebih rendah dibandingkan daerah lain.
Dengan masih rendahnya
kapasitas testing di Indonesia, Fedri berpandangan bahwa kondisi Indonesia saat
ini masih belum siap untuk pembukaan kembali sekolah untuk pembelajaran tatap
muka karena masih berisiko. Untuk itu, Fedri menekankan bahwa tes PCR ini
sangat penting ditingkatkan di setiap kabupaten/kota, serta mendukung Puskesmas
dalam melakukan penyelidikan epidemiologi dan contact tracing. Peningkatan jumlah tes PCR idealnya akan turut
meningkatkan kesiapan kita dalam melaksanakan pembelajaran tatap muka. Hal yang
juga penting untuk dilakukan sebagai langkah persiapan pembukaan kembali
sekolah adalah pendataan kondisi anak. Ketika nantinya sekolah kembali dibuka, kunci
keberhasilan selanjutnya adalah kedisiplinan setiap warga sekolah dalam
menerapkan protokol kesehatan.
Bagaimanapun, kesiapan
pembukaan sekolah kembali untuk menyelenggarakan pembelajaran tatap muka
memerlukan kerja sama dan pelibatan berbagai pihak, baik dari dinas pendidikan,
sekolah, guru, dan juga orang tua siswa. Tentunya, dengan tetap berfokus pada
pertimbangan kesehatan dan keselamatan seluruh warga sekolah. [IH/DNR]