logo-tut-wuri

Pengunggah
Lukman Solihin (Peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan)
Tahun Terbit
2021
Bagikan Laman Ini

Ketika berbicara dalam seminar “Koalisi #2: Membangun Pendidikan yang Berpihak” yang ditaja Sokola Institute pada 7-29 November 2020 lalu, saya mengajukan pertanyaan kepada peserta: dapatkah sistem pendidikan saat ini menghasilkan agen perubahan, alih-alih hanya mereproduksi ketimpangan sosial?

Pertanyaan ini muncul sebagai alternatif untuk keluar dari kecenderungan patah harapan bahwa pendidikan yang ada saat ini belum ideal dan kontekstual. Sebagian kalangan memang menganggap bahwa pendidikan alih-alih dapat menyelesaikan persoalan suatu komunitas, justru ia dianggap sebagai sumber masalah itu sendiri.

Dalam buku Melawan Setan Bermata Runcing, rekan-rekan di Sokola Institute secara terang menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang ada bagi masyarakat adat kerap tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah terdekat mereka. Sebaliknya, sekolahlah yang memicu anak-anak muda pergi dari lingkungan dan akar kebudayaannya.

Terus terang, mengisi seminar yang diselenggarakan Sokola Institute, lembaga yang hampir delapan belas tahun mendedikasikan kerja bagi pendidikan masyarakat adat dan kalangan marginal, saya tidak dapat menampik benturan perspektif ketika memandang tujuan, pelaksanaan, dan capaian pendidikan yang diharapkan.

Sebagai kerani pemerintah, tak pelak saya berada dalam posisi ambigu: untuk sebagian saya sepakat dengan cara pandang dan praktik yang dikembangkan Sokola, namun saya pun cukup memahami “mengapa” pemerintah mengambil kebijakan di bidang pendidikan sedemikian rupa sehingga bagi sementara kalangan justru dianggap membelenggu, mencipta jalan buntu.

Dalam kebimbangan itu, saya mendapat titik terang untuk keluar dari kemelut pertanyaan tadi melalui sejarah panjang para pendiri bangsa yang dididik dengan sistem kolonial, tetapi justru menjadikan pengetahuan dan kecakapan yang mereka miliki sebagai amunisi ampuh untuk menyerang balik.

Tulisan ini tidak untuk menjelaskan mengapa pendidikan kita saat ini belum ideal, melainkan untuk melihat kemungkinan bahwa dalam sistem pendidikan yang begitu adanya itu tetap ada secercah harapan untuk membentuk agen perubahan.

 

Pengetahuan untuk Melawan

Sejarawan seperti Hilmar Farid dan Doris Jedamski secara lugas menilai Politik Etis dan Balai Pustaka sebagai bentuk wadak dari praktik penjajahan pikiran di era kolonial. Artinya, di samping represi secara sosial, ekonomi, dan politik, penjajahan juga melalui jalur kebudayaan: bagaimana paradigma dan sikap suatu bangsa dibentuk agar membebek alur pikir penjajahnya.

Pengetahuan dan paradigma Barat, logika ilmiah, bahasa, juga standar sastra, dibentuk sedemikian rupa agar masyarakat jajahan dapat segendang-sepenarian dengan agenda pemerintah kolonial. Efeknya bisa panjang dan mewujud sebagai sindrom poskolonial. Karya sastra bikinan Balai Pustaka, untuk sekadar contoh, dalam kurun waktu dan ukuran tertentu masih membayangi diskursus mengenai kapan sastra Indonesia dimulai, mencapai tonggak monumentalnya, dan memengaruhi selera sebagian pembaca di Indonesia hingga kini.

Tetapi di sisi lain, kita pun tahu bahwa penjajahan di ranah budaya ini justru menjadi pintu mengecap pendidikan Barat sehingga melahirkan para “Malin Kundang” yang alih-alih patuh menjadi pegawai kolonial, malahan justru menjadi lawan tanding paling tangguh. Para pendiri bangsa sejak fajar kebangkitan nasional, tokoh-tokoh di sekitar Sumpah Pemuda, hingga para penyusun dasar negara dan naskah Proklamasi, adalah para pemuda dan pemudi yang mengenyam pendidikan kolonial. Berbekal ilmu pengetahuan yang dimiliki, mereka berupaya memahami bagaimana kolonialisme diterapkan dan melalui cara apa ia bisa dilawan.

Ketika menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Teknik Bandung, Soekarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia bercerita, seminggu sebelum dirinya mendapa gelar insinyur, dia mempersoalkan isu “penjajahan pikiran” itu dengan rektor Sekolah Tinggi Teknik Bandung, Prof. Ir. G. Klopper M.E. Bung Besar bertanya, mengapa pribumi seperti dirinya dikenalkan pengetahuan yang hanya berguna untuk mengekalkan dominasi kolonial?

Prof. Klopper tak menampik bahwa pendidikan di Hindia Belanda ditujukan untuk memajukan politik Den Haag. Supaya dapat mengikuti kecepatan ekspansi dan eksploitasi ekonomi kolonial, pemerintah Belanda merasa perlu mendidik lebih banyak insinyur yang berpengalaman di tanah jajahan. Terang sekali jawaban itu bagi Soekarno sehingga ia mantap menggunakan daya dan pengetahuannya justru untuk melawan kolonialisme.

“Dan begitulah, sekalipun aku harus mempersembahkan seluruh hidupku untuk menghancurkan kekuasaan kolonial, rupanya aku harus berterima kasih pula kepada mereka atas pendidikan yang kuterima,” demikian Soekarno. Soekarno tetap merasa perlu berterima kasih, tetapi dalam kenyataannya dialah “Malin Kundang” yang menolak patuh pada penindasan akal budi yang berlangsung dalam sistem pendidikan kolonial. Dan dia tak sendiri. Sehimpunan pemuda dan pemudi lainnya juga sedang tumbuh merengkuh fajar nasionalisme.

 

Kebebasan Berpikir dan Berhimpun dalam Pergerakan

Lantas bagaimana Soekarno dapat keluar dari tempurung sistem pendidikan kolonial? Mungkin dua hal berikut ini dapat dipertimbangkan sebagai jawaban, meskipun masih bersifat hipotetis.

Pertama, sistem pendidikan kolonial walaupun dipraktikkan dengan segregasi sosial yang ketat, di mana sekolah hanya diperuntukkan bagi kalangan dan garis darah tertentu, menerapkan prinsip liberal arts dalam arti luas. Kebebasan berpikir, berdiskusi, menjadi bagian dari upaya memuliakan ilmu pengetahuan. Bertanya, mengkritik, dan mencari sumber informasi yang menjadi tradisi dalam sistem pendidikan dapat membentuk pribadi-pribadi yang haus pengetahuan.

Awal abad ke-20, di mana Politik Etis dimulai, dibuka lebih banyak sekolah-sekolah ala Eropa seperti HIS, MULO, dan AMS sehingga melahirkan lebih banyak kalangan terdidik dari kalangan pribumi rendahan. Sekolah-sekolah ini mengadopsi sistem pendidikan Belanda, begitu pun pengajarnya sebagian besar dari kalangan Eropa. Sistem pendidikan inilah yang kemudian melahirkan apa yang oleh Abdul Rivai sohor disebut sebagai “bangsawan pikiran”, yakni kalangan elite nasional yang mampu tampil berkat pengetahuan dan pencapaiannya, bukan berdasarkan garis silsilahnya.

Berdasarkan kecakapan dan akses bacaan yang cukup, kalangan terpelajar ini juga itu membaca banyak karya sastra, termasuk yang mengguncangkan istana ratu Wilhelmina: Max Havelaar. Novel karangan Multatuli ini telah memantik rasa malu Pemerintah Belanda sehingga terpaksa menerapkan Politik Etis. Karya yang oleh Pramoedya Ananta Toer dijuluki sebagai The Book That Killed Colonialism ini telah membuka mata banyak kaum terpelajar untuk melawan penindasan.

Dalam konteks yang pertama ini dapat dikatakan, pendidikan telah melahirkan insan-insan yang tidak hanya kritis, tetapi mampu menyusun penjelasan dan perlawanan yang diperlukan. Pidato Soekarno, Indonesia Menggugat, di muka pengadilan Belanda yang sarat data dan argumen menunjukkan kecemerlangan hasil pendidikan itu.

Kedua, kaum terpelajar yang didik dengan cara Eropa ini tak lupa tanggung jawab yang mereka pikul sebagai elite baru bagi bangsanya. Mereka bukankah “anak-anak sekolahan” yang selepas belajar di kelas lantas pulang, menonton bioskop, atau ambil perlop untuk leha-leha di pantai. Pendidikan juga memungkinkan mereka membangun jaringan dan membentuk komunitas yang lebih luas.

Persinggungan anak-anak sekolahan ini dengan organisasi seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam, atau Indisce Partij—untuk menyebut beberapa—memungkinkan mereka untuk memahami persoalan bangsa lebih jauh. Apalagi, sebagian kaum terpelajar ini adalah juga para penulis, wartawan, bahkan pendiri beberapa penerbitan. Komunitas, pergerakan, serta percakapan tertulis melalui media memungkinkan mereka membayangkan musuh bersama bernama kolonialisme dan merajut ikatan dalam satu kesatuan nasional (Imagined Communities kata Ben Anderson). 

Kembali ke pertanyaan tadi, dapatkah sistem pendidikan saat ini menghasilkan agen perubahan?

Jawabannya terletak pada apakah sistem pendidikan kita sudah mampu menyemai dan merayakan nalar kritis atau justru membungkamnya, dan apakah peserta didiknya memiliki cukup waktu dan komitmen untuk memikirkan persoalan komunitas dan masalah bangsanya. Soekarno dan kawan-kawan membuktikan bahwa sistem pendidikan kolonial bukan jalan buntu untuk melawan ketidakadilan, justru sebaliknya ia menjadi alat melawan penindasan. [LS]

Sumber: foto pribadi.