logo-tut-wuri

Santun dalam Memanfaatkan Media Digital

Pengunggah
-
Tanggal Terbit
2021-03-31
Bagikan Laman Ini

Jakarta, Puslitjak - Revolusi Industri 4.0 mendorong peningkatan penggunaan teknologi digital di hampir semua lini kehidupan manusia. Perubahan makin nyata ketika pandemi COVID-19 melanda dunia. Pembatasan sosial terjadi, interaksi tatap muka berkurang, dan teknologi menjembatani kesenjangan komunikasi. Kita jadi terbiasa berkomunikasi melalui perangkat digital dan media sosial. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2020 mencatat, sekitar 73,7% populasi di Indonesia terhubung ke internet, dan 59% di antaranya aktif di sosial media. Namun, kondisi ini tidak dibarengi literasi digital dan sikap santun dalam menggunakan media sosial. Laporan Digital Civility Index (DCI) 2020 yang dilansir Microsoft Februari lalu menunjukkan, pengguna internet di Indonesia memiliki tingkat kesantunan paling rendah di Asia Tenggara. Hasil survei tersebut menjadi krusial khususnya jika disandingkan dengan aktivitas belajar daring yang semakin menjadi “kenormalan baru” dalam pendidikan kita. Tantangan pendidikan kemudian bertambah, di tengah upaya pemerintah mendorong pendidikan karakter dalam segala aspek. 


Berangkat dari kekhawatiran tersebut, Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak), Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud pada Rabu, 31 Maret 2021 menyelenggarakan webinar diskusi kebijakan tematik bertajuk “Krisis Kesantunan dan Pemanfaatan Media Digital pada Pelajar dan Mahasiswa”. Diskusi ini menghadirkan Benny Kusuma dari Microsoft Indonesia, Laras Sekarasih dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Wijaya Kusumah, guru dan pegiat literasi dari SMP Labschool Jakarta, serta Ferdi Widiputera dari Pusat Penelitian Kebijakan, Kemendikbud.

Diskusi dibuka oleh Totok Suprayitno, Plt. Kepala Balitbang dan Perbukuan. Dalam sambutannya, Totok menyatakan bahwa strategi pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari tujunnya dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai ke-Indonesia-an. Harapannya, generasi muda Indonesia mampu menghadapi disrupsi media digital tanpa kehilangan karakter bangsa. Totok juga menganalogikan media digital seperti api yang apabila disalahgunakan justru akan merugikan. Oleh karena itu, karakter menjadi penting dalam pendidikan, sehingga sistem nilai, etika, dan sopan santun perlu berpijak pada nilai-nilai budaya bangsa, yakni Pancasila dan norma agama.


Santun dan Sahih

Kondisi literasi digital pada pelajar dan mahasiswa menjadi penting untuk didalami. Ferdi Widiputera memulai diskusi dengan menyajikan temuan Kajian Digital Kids Asia-Pasifik pada 2020 lalu. Terdapat lima domain dalam kajian ini, yaitu literasi digital, keamanan dan ketahanan digital, partisipasi agensi digital,  kecerdasan emosional digital, dan  kreativitas dan inovasi digital. Temuan utama kajian yang dikoordinasikan oleh SEAMEO tersebut menunjukkan tingginya kemampuan TIK pelajar dan mahasiswa, namun tidak diimbangi inovasi dan kreativitas.

Ferdi juga menyampaikan, tak jauh berbeda dengan berbagai survei yang dilakukan lembaga lain, smartphone menjadi media utama yang digunakan anak usia 15 hingga 16 tahun ketika mengakses internet. Kesenjangan hanya terjadi pada siswa dan mahasiswa yang berbeda dari segi latar belakang ekonomi, sedangkan dari sebaran wilayah, hal  itu tidak terjadi.

Benny Kusuma secara khusus memberi perhatian pada kesantunan dalam berperilaku di media sosial. Berdasarkan survei DCI yang dilakukan Microsoft, perundungan menjadi salah satu aspek krusial. Sebanyak 40% responden mengaku pernah terlibat dalam insiden perundungan. Itu artinya, 4 dari 10 orang yang mengakses media digital pernah menjadi pelaku perundungan. Menariknya, anak usia 13 – 17 tahun justru memiliki etika yang lebih baik dibandingkan kelompok usia dewasa dalam berinteraksi di media sosial.

Ditilik dari perpsektif psikologi, Laras Sekarasih menyatakan bahwa orang dewasa memiliki free question perception, yaitu anggapan bahwa orang lain lebih rentan terhadap efek negatif media dibanding dirinya. Penjelasan ini menguatkan temuan survei DCI yang menyatakan bahwa kesantunan digital justru rentan pada orang dewasa.

Laras juga menggarisbawahi bahwa di samping kesantunan, kesahihan juga tidak kalah penting ketika mengakses media digital. “Tidak hanya sopan dan beradab, tetapi juga harus sahih dalam menyebarkan informasi,” jelasnya. Oleh karena itu, keluarga dan sekolah memegang peranan penting dalam mendampingi dan memberikan pemahaman bagi anak dan remaja.

Tinjauan psikologi media di atas selaras dengan perpektif guru sebagai pihak yang paling relevan dalam pembentukan karakter anak melalui pendidikan. Wijaya Kusumah membagikan pengalamannya dalam menanamkan kesantunan digital pada siswa. Menurutnya, anak-anak akan mencontoh orang dewasa, oleh karena itu kita perlu menunjukkan bagaimana mengakses media digital secara baik.

Dari paparan keempat narasumber, tampak bahwa para pelajar yang umumnya merupakan digital native, ternyata relatif sudah memiliki digital wisdom. Simpulan ini diungkapkan Irsyad Zamjani selaku Plt. Kepala Puslitjak sebelum menutup diskusi. “Harapannya, civility atau keadaban di media digital ini ke depan semakin membaik, dan kesantunan tersebut juga tidak melupakan kesahihan,” pungkasnya. [Linda/Diyan]

 

---------

Materi webinar dapat diunduh di tautan: http://ringkas.kemdikbud.go.id/MateriKesantunan