Kabar
Standar Pendidikan yang Memberdayakan
Oleh Anindito Aditomo
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud-Ristek
SEJAK berlakunya UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, Indonesia menganut rezim pendidikan berbasis standar. UU tersebut memandatkan adanya penjaminan mutu yang mengacu pada delapan komponen standar nasional pendidikan. Setelah hampir dua dekade, sudah saatnya kita merefleksikan dampak dan relevansi dari rezim pendidikan berbasis standar ini.
Banyak bersekolah, sedikit belajar
Secara kelembagaan, penjaminan mutu yang diamanahkan UU 20/2003 mulai menemukan bentuk pada 2005. Melalui Peraturan Pemerintah 19/2005, pemerintah membentuk Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang bertugas merumuskan standar nasional pendidikan dan melaksanakan ujian nasional.
Standar nasional yang dirumuskan BSNP punya peran strategis karena menjadi acuan berbagai kebijakan penting seperti kurikulum, pemenuhan sarana-prasarana, dan tata kelola guru. Standar tersebut juga menjadi acuan bagi akreditasi sekolah/madrasah oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN), dan bagi pemetaan mutu yang dilakukan pemerintah.
Bagaimana potret kualitas pendidikan di Indonesia semenjak penerapan sistem penjaminan mutu berbasis standar nasional pendidikan? Secara singkat dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan kita berhasil membuka akses pada bangku sekolah, tetapi belum berhasil memberi pengalaman belajar yang berkualitas.
Hal ini terlihat jelas dari data PISA, survei tiga tahunan yang mengukur literasi membaca, matematika, dan sains murid berusia 15 tahun di berbagai negara. Indonesia telah mengikuti survei ini sejak 2000 sampai siklus terakhir pada 2018. Dalam kurun waktu tersebut, skor rata-rata murid Indonesia praktis tidak berubah secara signifikan. Pada 2018, masih ada lebih dari 70% murid yang belum memiliki literasi yang cukup untuk berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat modern.
Data ujian nasional juga memperlihatkan bahwa pemahaman murid atas materi kurikulum tidak mengalami peningkatan dan bahkan cenderung menurun. Sebagai ilustrasi, skor rata-rata bahasa Indonesia SMP/MTS hanya meningkat dari 62,3 pada 2005 menjadi 69,2 pada 2014. Pada kurun waktu yang sama, skor matematika justru menurun dari 65,4 menjadi 61,5. Setelah penerapan UN berbasis komputer (sejak 2015), skor UN mengalami penurunan tajam untuk semua mata pelajaran. Hal ini terjadi pada sekolah/madrasah baik yang menggunakan UN berbasis komputer maupun yang masih ujian tertulis (kertas). Artinya, penurunan ini bukan akibat perubahan moda ujian.
Dalam melengkapi hal ini, analisis para peneliti RISE juga memperlihatkan bahwa banyak murid naik kelas tanpa mengalami peningkatan kemampuan numerasi. Dalam makalah yang baru saja terbit di International Journal of Educational Development, para peneliti tersebut menemukan bahwa selama periode 2000 sampai 2014, kompetensi matematika murid justru mengalami penurunan signifikan. Sebagai ilustrasi, skor rata-rata murid kelas 7 pada 2014 hanya setara dengan skor rata-rata murid kelas 4 pada 2000.
Data-data di atas menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia tampaknya banyak bersekolah, tetapi sedikit belajar. Potret buram ini tidak menjadi lebih cerah setelah pendidikan kita menerapkan penjaminan mutu berbasis standar nasional selama lebih dari 15 tahun.
Korelasi antara standar dan kualitas
Tentu, ada banyak faktor yang turut membuat kualitas pendidikan kita jalan di tempat. Mulai rumitnya tata kelola sampai persoalan distribusi dan kompetensi guru. Namun, rezim penjaminan mutu berbasis standar juga berkontribusi dalam stagnannya kualitas pendidikan. Hal itu tampak dari lemahnya korelasi antara pemenuhan standar nasional dan hasil belajar murid.
Setidaknya, ada dua data yang mencerminkan pemenuhan standar nasional. Pertama ialah akreditasi sekolah/madrasah yang dilakukan oleh BAN. Kedua ialah survei pemetaan mutu pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Data BAN menunjukkan bahwa hanya sekitar 5,5% SD/MI, 3,4% SMP/MTs, dan 3,5% SMA/MA yang terakreditasi A atau B pada 2010. Pada 2015, jumlahnya berlipat menjadi sekitar 35% untuk SD/MI, 33% untuk SMP/MTs, dan 28% untuk SMA/MA. Pada 2020, sekolah/madrasah yang terakreditasi A atau B telah mencapai sekitar 80% untuk SD/MI, 71% untuk SMP/MTs, dan 73% untuk SMA/MA. Berlipat gandanya sekolah/madrasah yang memenuhi standar nasional sangat kontras dengan stagnannya hasil belajar murid pada kurun waktu yang sama.
Gambaran serupa juga tampak pada data pemetaan mutu oleh pemerintah pusat. Peta mutu yang dihasilkan mencerminkan pemenuhan standar nasional pada tingkat sekolah/madrasah dan daerah. Peta mutu tersebut ternyata tidak sinkron dengan hasil ujian nasional. Daerah-daerah dengan peta mutu yang bagus belum tentu memiliki skor ujian nasional yang tinggi. Beberapa daerah yang peta mutunya unggul justru jeblok dalam ujian nasional.
Lemahnya korelasi antara pemenuhan standar dan kualitas hasil belajar sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Baik borang akreditasi maupun borang pemetaan mutu cenderung mereduksi kualitas pembelajaran menjadi urusan format dan kelengkapan dokumen.
Sebagai contoh, untuk mengukur kualitas pembelajaran, yang dilihat ialah dokumen silabus dan rencana pembelajaran. Sekolah/madrasah harus menunjukkan bahwa dokumen silabusnya sudah memuat semua komponen yang diwajibkan standar. Sekolah juga diminta menunjukkan bahwa dokumen rencana pembelajaran sudah lengkap dan selalu divalidasi kepala sekolah. Padahal, kelengkapan dokumen tidak mencerminkan pengalaman belajar yang dirasakan murid.
Borang akreditasi dan pemetaan mutu juga banyak berfokus pada pemenuhan standar sarana/prasarana serta pembiayaan. Misalnya, sekolah harus melaporkan apakah jumlah dan ukuran ruang kelas, ruang guru, dan ruang pimpinan mereka sudah sesuai dengan ketentuan. Sampai tahun lalu, sekolah/madrasah dianggap baik jika ruang kepala sekolahnya berukuran minimal 12 meter persegi, dan ruang gurunya 32 meter persegi. Kaitan antara ukuran ruangan dan kualitas pembelajaran tentu layak dipertanyakan.
Di sisi lain, pemenuhan standar terkait dengan hasil belajar hanya diukur secara sepintas lalu. Misalnya, salah satu butir dalam borang akreditasi meminta kepala sekolah/madrasah melaporkan persentase siswa yang 'memiliki pengetahuan: (1) faktual, (2) konseptual, (3) prosedural, (4) metakognitif dalam setiap tema'. Butir lainnya meminta laporan tentang persentase guru yang 'mengembangkan perangkat pembelajaran pada kompetensi sikap sosial siswa'. Sulit membayangkan ada kepala sekolah/madrasah yang mengaku gagal dalam mengembangkan pengetahuan dan karakter muridnya jika pengakuan itu berpotensi merugikan sekolah/madrasahnya.
Nuansa administratif, dalam pemenuhan standar, juga diungkap pemimpin sekolah inovatif dari seluruh Nusantara yang diundang untuk memberi masukan kepada Kemendikbud-Ristek. Mereka menyatakan bahwa para asesor akreditasi kerap lebih peduli pada bukti berupa kelengkapan dokumen dan kesesuaian format, daripada melihat kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar murid.
Sebagai ilustrasi, salah satu kepala sekolah tersebut bercerita bahwa para guru di sekolahnya rutin berkolaborasi dalam menyusun rencana pembelajaran. Namun, praktik baik itu tidak diterima sebagai indikator kualitas pembelajaran, semata-mata karena dokumennya tidak disertai dengan daftar hadir. Akibatnya, kegiatan penjaminan mutu justru dirasa sebagai kerepotan administratif yang tidak berdampak pada peningkatan mutu.
Mencari standar yang memberdayakan
Dampak buruk pendidikan berbasis standar sebenarnya sudah lama disuarakan para kritikus. Menurut mereka, standar mengabaikan keunikan konteks dan kebutuhan, baik di tingkat individu murid maupun sekolah dan daerah. Sebuah metode belajar yang efektif untuk seorang murid belum tentu cocok untuk murid yang lain. Sebuah strategi perubahan yang berhasil di satu sekolah mungkin tidak cocok untuk sekolah lain.
Standardisasi juga dikatakan memiskinkan inisiatif guru dan kepala sekolah. Standar yang rinci tentang isi kurikulum dan tujuan pembelajaran membatasi guru dalam menerapkan otoritas profesionalnya sebagai pendidik. Adanya ujian nasional dan ujian sekolah berstandar nasional lebih tegas lagi menyatakan bahwa guru harus tunduk pada pemerintah dalam menentukan kelulusan murid mereka.
Kritik-kritik tersebut ada benarnya. Namun, dari perspektif praktis, standar diperlukan sebagai acuan untuk merumuskan arah kebijakan. Standar juga diperlukan, sebagai landasan evaluasi keberhasilan (atau kegagalan) sistem pendidikan. Tidak adanya standar juga berbahaya karena dapat menyamarkan kesenjangan dan melanggengkan praktik buruk yang merugikan murid. Singkat kata, pengelolaan pendidikan memerlukan standar yang jelas.
Karena itu, pertanyaannya bukan apakah standar masih diperlukan. Yang perlu dirumuskan adalah standar yang tidak sekadar mendorong tertib administrasi, tetapi juga memberdayakan dan memantik inovasi. Yang harus dicari ialah standar memberi ruang bagi guru untuk mengambil keputusan profesional demi kemajuan belajar murid mereka. Dengan demikian, mekanisme penjaminan mutu dapat benar-benar mendorong perbaikan mutu.
Pemerintah telah memulai upaya ini dengan menerbitkan PP Nomor 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang semangatnya ialah mengurangi sifat administratif dan menguatkan orientasi pada pembelajaran. Selain itu, Kemendikbud-Ristek akan menerapkan asesmen nasional yang dirancang untuk memetakan mutu serta mendorong sekolah/madrasah, dan pemda, berpikir lebih serius tentang cara meningkatkan kualitas dan mengurangi kesenjangan. Dengan semangat yang sama, BAN juga tengah merevisi mekanisme dan instrumen akreditasinya.
Tentu, ini baru langkah-langkah awal. Masih banyak yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama memperbaiki sistem penjaminan mutu pendidikan. Yang jelas, melanjutkan tanpa melakukan perubahan mendasar bukan sebuah pilihan"
Artikel pertama kali terbit di: mediaindonesia.com
Sumber foto: Seno/Media Indonesia