logo-tut-wuri

Pengunggah
Irawan Santoso Suryo Basuki (Peneliti pada Pusat Penelitian Kebijakan)
Tahun Terbit
2020
Bagikan Laman Ini


Kita pernah dan tengah mengalami titik lejit (tipping point). Titik ini adalah waktu di mana ide-ide disruptif muncul dan menyebar, terutama seputar teknologi baru, di masyarakat dengan budaya arus utama yang mapan. Salah satu manifestasi dari lejitan itu adalah Revolusi Industri.

Di dalam The Fourth Industrial Revolution (2017), Schwab memaparkan ada tiga tahapan letupan industri di dalam sejarah. Jika diamati secara saksama, perubahan cepat ini merupakan perubahan linier yang evolutif. Sebelum letupan-letupan itu terjadi, manusia sudah mengalami perubahan pola hidup dari berburu dan nomaden ke pola menetap dan bertani. Perubahan ini, salah satunya, berkat berhasilnya manusia melakukan domestifikasi hewan. Bersama dengan tenaga hewan ini, manusia melakukan upaya produksi, transportasi, dan komunikasi. Revolusi Agraria pun bergulir pada sekitar sepuluh ribu tahun yang lalu. Revolusi ini diikuti oleh serangkaian revolusi industri yang dimulai pada paruh kedua abad ke-18. Peralihan revolusi agraria ke industri ditandai oleh digantinya sebagian tenaga manual manusia dengan kekuatan alat-alat mekanis.

Revolusi Industri pertama terjadi sekitar 1760 hingga 1840-an. Pembangunan jaringan rel kereta api dan penemuan mesin uap – yang menjadi penting dalam memulai proses produksi massal secara mekanis – menginisiasi revolusi industri tahap awal ini. Tahapan kedua mulai terjadi di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ditandai dengan dimungkinnya produksi massal yang efektif berkat pengembangan tenaga listrik dan penemuan garis-pemasangan (assembly line) yang memudahkan proses produksi. Revolusi Industri ke-3 terjadi pada 1960-an. Kita mungkin mengenalnya dengan istilah yang lebih populer: revolusi digital. Proses ini dikatalisasi oleh perkembangan yang saling mendukung dan berkelanjutan dimulai dari semikonduktor, komputer mainframe, hingga komputer personal dan internet.

Kini masyarakat global diyakini tengah menjalani tahapan Revolusi Industri ke-4. Berkembang pesatnya internet bergerak (mobile internet), kecerdasan buatan, dan rekayasa genetika menghasilkan otomatisasi dalam dunia industri. Tak hanya berimbas pada perubahan pola produksi yang menyebabkan lapangan pekerjaan menjadi menyusut, cara masyarakat mengonsumsi barang dan jasa pun berubah. Berbagai toko dan aplikasi jasa transportasi dalam-jaringan memberikan banyak kemudahan dan efisiensi hanya dengan sekali klik.

Schawb percaya bahwa Revolusi Industri ke-4 ini memiliki potensi untuk memberi manfaat yang luas bagi masyarakat. Namun, menurut Schawb ada hal elementer yang menghambat potensi-potensi besar itu direalisasikan. Pertama, pemahaman manajerial para pengambil keputusan terhadap arah perkembangan revolusi industri ini yang masih kurang. Pemahaman ini menjadi teramat krusial karena para pemangku kepentingan dan masyarakat harus benar-benar dipersiapkan untuk menyambut era di mana pola dan nilai lama digantikan secara signifikan dengan pembaruan berbasis teknologi disruptif. Kedua, ada pandangan yang tidak konsisten dan kurangnya pemahaman positif tentang manfaat dan kesempatan baru yang terbuka karena proses revolusi industri.

 

Kegagapan

Jika kita sepakat teknologi adalah salah satu, jika bukan satu-satunya, pendorong peradaban manusia, maka kecepatannya akan selalu mendahului daya adaptasi manusia secara umum. Dengan begitu, celah yang menganga di antara perkembangan teknologi dan masyarakat akan selalu ada. Titik lejit menjadi bagian yang niscaya di dalam masyarakat.

Ide disruptif memang selalu bersifat mendahului zamannya. Ia lebih cepat daripada kegesitan manusia beradaptasi. Celah yang menganga di antara persebaran ide dan adaptasi akibat perubahan signifikan itu adalah keniscayaan. Oleh karenanya, titik lejit akan selalu dibarengi hal lain: kegagapan (stuttering). Kegagapan ini dapat berupa respon reaktif dan tertutup terhadap perubahan. Jika kita sadar akan hal ini, maka kita akan mafhum bila para pengemudi ojek konvensional berseteru dengan rekannya yang memilih mengais rejeki melalui aplikasi daring, pengusaha hotel yang mengeluhkan penurunan okupansi akibat digerus AirBnB, atau ketika toko fisik menjadi sepi dan toko maya semakin sering dikunjungi.  

Namun, pada batas tertentu, kegagapan ini tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan.  Kegagapan adalah prakondisi menuju kemajuan. Pertanyaannya sekarang, bagaimana mempersiapkan masyarakat yang akan selalu “terbelakang” agar mampu menerima dan beradaptasi lebih cepat dengan perubahan? Salah satu jawabannya adalah melalui pendidikan.

 

Pedagogi Kreatif

Kita sadar beragam pekerjaan nantinya akan hilang dengan adanya otomatisasi dan digitalisasi produksi barang dan jasa secara penuh. Orang-orang yang hanya dididik untuk memiliki keterampilan teknis akan kalah bersaing dengan mesin yang disokong kecerdasan buatan. Dengan situasi seperti ini, pendidikan formal dituntut untuk berubah. Ia tidak boleh dirancang sekadar untuk menciptakan manusia yang berkompetisi dengan mesin cerdas. 

Parag Diwan, penganjur keselarasan kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi, menawarkan konsep pedagogi 5i, yang saya terjemahkan secara bebas sebagai tahapan internalisasi-iterasi-interpretasi-interes-inovasi. Pertama, pendidikan ditekankan pada kegiatan internalisasi konsep-konsep dasar pengetahuan. Dari penguasaan konsep pengetahuan dasar itu, peserta didik diarahkan untuk mempraktikkan secara berulang (iterasi) keahlian-keahlian fundamental dari pengembangan konsep yang dilakukan secara ketat. Kemudian tahap ketiga, menginterpretasi hasil dari praktik tadi dan mencoba mengimplementasikannya di situasi-situasi yang diubah secara adaptif. Tahap keempat, peserta didik diarahkan untuk mengembangkan interes dan kuriositas terhadap subyek tertentu untuk menggali dan mencipta pengetahuan. Konsep orisinal dan ide baru yang dihasilkan dari daya pikir yang berbeda merupakan tahapan terakhir dari kerangka pedagogi ini. Keluarannya adalah insan yang memiliki kemampuan inovasi yang tinggi.

Konsep ini dapat dilihat sebagai varian dan implementasi kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kerangka pedagogi ini diharapkan mampu menjawab tantangan di era Revolusi Industri ke-4 dengan menghasilkan individu-individu yang kreatif dan inovatif. Merekalah yang akan berdiri mengatasi eksistensi mesin cerdas.  

Kegagapan memang tidak akan hilang meski publik dibekali pendidikan berbasis pendidikan kreatif. Namun, jika usaha itu dilakukan kita akan menghadapi proses kegagapan secara produktif, tidak reaktif.

Artikel ini merupakan bagian dari buku Penguatan Pelaku Kebudayaan dalam Mendukung Kualitas SDM (2019) yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dimana terdapat penyesuaian isi artikel dari versi sebelumnya.