logo-tut-wuri

Pengunggah
Irawan Santoso Suryo Basuki (Peneliti pada Pusat Penelitian Kebijakan)
Tahun Terbit
2021
Bagikan Laman Ini

Marie Curie tak kuasa menahan rasa kecewa.

Pada 20 Januari 1911 yang dingin, Académie des Sciences, salah satu akademi ilmu pengetahuan ternama di Perancis, menolak permohonannya menjadi anggota. Sebagai ilmuwan, tidak ada yang kurang dari Curie. Pada Juni 1903, ia menjadi perempuan pertama di Perancis yang mempertahankan disertasi doktoral. Tak lebih dari setengah tahun setelahnya, ia bersama Henri Becquerel, memperoleh penghargaan Nobel bidang fisika.

Ada satu hal menarik. Selain bersama Becquerel, Curie juga berbagi hadiah bersama suaminya, Pierre. Padahal suaminya sudah menyatakan bahwa penemuan polonium dan radium itu adalah murni hasil kerja keras istrinya. Ada yang menyebut hal ini adalah penghargaan setengah hati Yayasan Nobel karena yang memenangkannya adalah perempuan.

Dunia sains memang belum ramah terhadap perempuan. Curie sadar itu ketika tahu Universitas Warsawa, salah satu kampus besar di negaranya Polandia, tidak menerima perempuan sebagai mahasiswa – hal yang membuatnya pergi ke Perancis untuk mengejar karier di dunia akademis. Akan tetapi, Curie tidak mengira bahwa delapan tahun setelah ia berbagi hadiah Nobel dengan dua laki-laki, ia kembali dibuat kecewa dengan jawaban “non” dari Académie des Sciences. Alasannya tak masuk akal: menghargai tradisi. Rupanya, meski pada tahun itu Curie mendapat hadiah Nobel keduanya di bidang kimia, dunia sains belum sepenuhnya mengakui capaian ilmuwan perempuan.

Di beragam bidang, perempuan banyak berkontribusi, tapi nyaris tanpa rekognisi yang layak. Tersembunyi dibalik tembok tebal bernama patriarki. Tembok yang sama juga menyekat perempuan di dunia ilmu pengetahuan. Padahal jika ditelisik lebih jauh, kontribusi dan keterlibatan perempuan di sini bukanlah sesuatu yang baru. Mereka sudah bekerja di dunia yang didominasi oleh laki-laki.

Pada pertengahan abad ke-4, di Alexandria, di wilayah Kekaisaran Romawi Timur, ada seorang astronomer dan ahli matematika bernama Hypatia. Ia mengikuti jejak ayahnya, seorang profesor matematika dan filsafat, menapaki dunia akademik. Menurut penuturan Socrates, kuliah umum dan orasi ilmiah Hypatia banyak dihadiri orang. Ia menulis beberapa buku, yang sayangnya tak berjejak karena hangus dalam pembakaran Perpustakaan Alexandria. Sayangnya, perempuan cerdas yang sangat disegani di dunia akademik dan masyarakat umum tersebut tidak berumur panjang. Ia dibunuh akibat pertentangan hebat antara aliran neo-platonis dengan kalangan Kristen.

Laura Bassi adalah contoh lain. Ia adalah perempuan pertama yang mengajar di universitas. Ia ditunjuk sebagai profesor pada 1732 dan ditugaskan untuk mengajar oleh Paus di Universitas Bologna. Bassi memiliki dua belas anak dan tetap produktif menerbitkan tulisan hampir setiap tahun di bidang fisika.

Hal menarik yang perlu ditelisik lebih jauh adalah bagaimana Bassi mampu menjalani keduanya, baik peran sebagai ibu maupun intelektual, dengan baik. Sebagian dapat dijelaskan oleh privilese yang dimilikinya sebagai perempuan keturunan bangsawan Italia. Pada abad ke-18, perempuan kelas atas tidak memiliki kewajiban untuk membesarkan anaknya. Tidak lama setelah lahir, anak itu akan diserahkan kepada pengasuh-inang (wet nurse) untuk disusui dan dirawat di wilayah pedesaan. Si ibu dapat menemuinya ketika sudah berusia tujuh tahun, umur bagi anak laki-laki untuk disekolahkan. Banyak perempuan yang tidak memiliki hak istimewa seperti Bassi. Diskriminasi yang mulai terlihat pada abad ke-17 menyulitkan perempuan berkontribusi banyak di dunia sains.


Awal diskriminasi

Pada Abad Pertengahan, produksi pengetahuan terpusat di institusi keagamaan. Universitas sebagai lembaga pendidikan yang berkembang pesat pada abad ke-12 mulai berbagi peran dan dengan institusi keagamaan. Universitas Bologna di mana Bassi bekerja, merupakan universitas tertua di dunia. Seiring berkembangnya komunitas ilmiah, pihak biara dan universitas menyerahkan sebagian otoritasnya kepada akademi-akademi ilmu pengetahuan seperti Royal Society of London, Académie des Sciences di Paris, dan Akademie der Wissenschaften di Berlin. Di masa pembagian otoritas inilah, diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dimulai.

Ketiga institusi sains tadi tidak menerima anggota resmi perempuan hingga 300 tahun setelah pendiriannya pada sekitar abad ke-17. Londa Schiebinger dalam “Women in Science: Historical Perspective” yang merupakan bagian tulisan dari Women at Work: A Meeting on the Status of Women in Astronomy: Proceedings of a workshop held at the Space Telescope Science Institute (1993) menyatakan bahwa perempuan pertama yang menjadi anggota resmi salah satu akademi itu adalah Yvonne Choquet-Bruhat pada 1979. Sebenarnya ia dapat diterima dengan mudah mengingat Choquet-Bruhat adalah anak dari salah satu anggota Académie des Sciences yang disegani.

Penolakan ini disebabkan adanya asumsi bahwa komunitas ilmiah hanya dapat dibangun secara produktif bila fungsi reproduktif diabaikan atau tidak dilakukan sendiri (society need not reproduce itself). Secara biologis, fungsi ini melekat pada perempuan. Jadi, perempuan yang sedari awal memutuskan untuk terlibat dan menjadi anggota komunitas ilmiah diharapkan tidak menjalankan fungsi reproduktif mereka yang dianggap mengganggu. Dari sinilah pemilahan dan peran yang diskriminatif dimulai.

Selain fungsi reproduktif, perempuan juga dianggap tidak kompatibel dengan sains. Mereka dianggap disruptif. Di dalam tradisi kuno Ibrani, misalnya, dipercaya bahwa jika laki-laki berhubungan dengan perempuan, maka ia akan kehilangan kemampuan meramal masa depan. Oleh karenanya, para intelektual memutuskan hidup selibat dan tinggal di biara. Tradisi monasterik ini dilanjutkan oleh universitas sebagai lembaga pendidikan yang menggantikannya. Oxford dan Cambridge dikenal memiliki peraturan tidak tertulis bagi para profesornya untuk tidak menikah. Pada abad ke-19, aturan ini diinstitusionalkan melalui kewajiban selibat.

Newton, Bacon, dan Boyle adalah sedikit ilmuwan ternama yang tidak menikah atau berhubungan dengan perempuan. Bacon malah secara tegas menyebutkan bahwa istri dan anak-anak adalah liabilitas untuk membangun komunitas sains yang kuat. Pada abad ke-19, Edwark Clark, seorang doktor Harvard, menyatakan bahwa perempuan sudah semestinya dilarang masuk ke universitas. Menurutnya, jika perempuan mengembangkan kemampuan intelektual, maka ovariumnya akan mengempis. Ada pula “kepercayaan saintifik” dari kalangan Darwinis yang yakin bahwa perempuan adalah bentuk evolusi laki-laki yang mandek. Ketimpangan sosial perempuan dianggap niscaya karena evolusi yang tidak sempurna tersebut. Singkatnya, mereka ingin mengatakan bahwa takdir sudah ditentukan oleh jenis kelamin.


Ibuisasi

Tradisi dan kepercayaan yang dicari justifikasinya melalui (pseudo)sains telah membuat perempuan terpinggirkan. Diskriminasi ini dibuat dengan membangun batas yang jelas antara ruang publik dan domestik. Keduanya saling dipertentangkan dan kemudian ruang gerak perempuan dibatasi hanya di ranah domestik dengan alasan “sudah kodratnya”. Perempuan didiskriminasi melalui domestifikasi.

Di Indonesia sendiri, Orde Baru melanggengkannya lebih jauh melalui konstruksi budaya. Dalam State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia (1987), Julia Suryakusuma menyebut upaya Orde Baru ini sebagai ibuisme, paham yang mengonstruksikan perempuan untuk memiliki sifat “ibu”. Konsep ini berbeda dengan apa yang disampaikan Maria Mies dalam Patriarchy and Accumulation on A World Scale (1986) tentang pengiburumahtanggaan (housewifization), di mana perempuan dibatasi ruang sosialnya dan hanya beraktivitas di rumah. Ibuisme jauh lebih dari itu. Paham ini sepenuhnya menganggap setiap perempuan harus berperan sebagai ibu yang mengutamakan “tugas” domestik.

Hari ibu ditetapkan pada 1959. Di masa itu, sapaan "ibu” adalah panggilan kepada semua perempuan dewasa, tidak semata kepada yang berstatus ibu rumah tangga. Namun, ibuisme mereduksi makna katanya. Ibuisasi tidak hanya membatasi ruang gerak perempuan, tetapi juga melegitimasi batasan biologis. Menjadi ilmuwan jelas bukan tugas domestik dan tidak lumrah untuk perempuan yang konon ditakdirkan untuk menjadi ibu. Pandangan ini berimbas kepada tingkat partisipasi rendah perempuan di ruang publik, termasuk di bidang sains.

Data UNESCO Science Report Towards 2030 (2015) menunjukkan bahwa di seluruh dunia, perempuan yang bekerja sebagai peneliti hanya 28%. Padahal, jumlah perempuan dan laki-laki yang menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana dan master dalam bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) jumlahnya relatif sama. Di Indonesia, sebagaimana disebutkan di dalam Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Perkembangan, Kebijakan, dan Tantangannya di Indonesia (2018), pada 2017 jumlah peneliti perempuan hanya sekitar 35%. Padahal jumlah perempuan hampir separuh dari total penduduk.


Membongkar “Kerangka Tak Kasat Mata”

Jess Hill dalam See What You Made Me Do: Power, Control and Domestic Abuse (2019) menyebut patriarki sebagai “kerangka tak kasat mata” yang mengatur pola tingkah laku dan kebiasaan berdasarkan asumsi inferioritas perempuan. Norma dan nilai ini diamini secara tidak sadar sehingga dipercaya sebagai bagian dari takdir bahkan oleh perempuan sendiri.  Kerangka tak kasat mata ini harus dibongkar.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membongkar itu adalah menerapkan kebijakan afirmasi. Kebijakan ini bersifat sementara dan tidak bermaksud mengistimewakan perempuan. Tindakan afirmatif bertujuan memastikan adanya pintu yang memudahkan perempuan bergerak di antara ruang publik dan domestik. Sebagai contoh, pemberian kelonggaran batas usia persyaratan permohonan beasiswa magister dan doktoral bagi perempuan. Hal ini perlu diimplementasikan mengingat perempuan membutuhkan waktu “lebih” untuk mengandung dan merawat bayinya. Setelah diberikan akses, seperti halnya laki-laki, perempuan harus tetap bersaing dengan meningkatkan kompetensi.

Selain di tataran kebijakan yang lebih luas, pemerintah sudah memiliki Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan diperkuat dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Selain itu, upaya solutif yang sifatnya mandiri dan personal juga dapat dilakukan. Ini misalnya dengan menolak undangan pertemuan ilmiah jika panelnya hanya diisi oleh laki-laki. Jika menyelenggarakan pertemuan sendiri, dari awal kita dapat memulai memikirkan dan menginventarisasi pembicara-pembicara perempuan yang kompeten untuk diundang. Membiarkan para perempuan memegang mikrofon untuk menyuarakan apa yang dipikirkan dan memberikan keleluasaan untuk terlibat aktif dalam setiap kegiatan ilmiah adalah langkah awal yang baik. 

Laki-laki juga perlu mengamplifikasi aspirasi perempuan yang meminta fasilitas pendukung untuk mempermudah mereka menjalankan dua peran sekaligus. Misalnya, ikut membantu menyuarakan pentingnya ruang laktasi yang mudah dijangkau, dan pojok bermain anak di tempat kerja jika membuka tempat penitipan anak dianggap terlalu sulit.

Meruntuhkan tembok tebal yang tak kasat mata ini adalah kerja bersama. Patriarki bukan hanya persoalan bagi perempuan, tapi juga laki-laki.


Sumber foto: pxhere.com