logo-tut-wuri

Tradisi Halalbihalal Memperkuat Silaturahmi Keluarga Puslitjak

Pengunggah
-
Tanggal Terbit
2021-05-23
Bagikan Laman Ini

Jakarta, Puslitjak – Masyarakat muslim Indonesia memiliki tradisi merayakan lebaran Idul Fitri dengan cara menyelenggarakan silaturahmi bersama melalui acara halalbihalal. Isilah halalbihalal memiliki makna mengurai kekusutan, kekeruhan, maupun kesalahan yang telah diperbuat di waktu sebelumnya. Artinya, melalui halalbihalal, diharapkan semua kesalahan melebur, hilang, dan kembali bersih.

Tradisi halalbihalal terus berkembang di Indonesia hingga saat ini. Kata halalbihalal sudah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesai (KBBI) dan memiliki dua arti. Pertama, ialah hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan. Kedua, juga diartikan sebagai bentuk silaturahmi, biasanya oleh sekelompok orang dengan cara berkumpul di suatu tempat yang luas, bersalam-salaman dan makan bersama. Oleh karena saat ini masih diliputi masa pandemi COVID-19, maka suasana halal bihalal mulai beralih dilakukan secara daring.

Dalam rangka optimalisasi pelaksanakan tugas dan fungsinya, Puslitjak secara rutin melakukan berbagai kegiatan atau program yang melibatkan banyak orang, sehingga kerja sama dan komunikasi yang dilakukan ada kalanya tidak luput dari salah dan khilaf. Pada momentum acara halalbihalal bertajuk “Mempererat Silaturahmi di Tengah Pandemi”, keluarga besar Puslitjak berupaya membangun kebersamaan dalam suasana saling maaf-memaafkan. Acara yang diselenggarakan pada Rabu, 19 Mei 2021 ini  menghadirkan penceramah dari UIN Jakarta, yakni Dr. Fuad Thohari, M.AG, serta mengundang mantan kepala pusat, pejabat, dan peneliti yang pernah berkarier di Puslitjak.

 

Rendah Hati, Bersyukur, dan Egaliter

Mengawali acara, sebagai bahan renungan bersama, dilakukan pembacaan ayat suci Al Quran surat Al Fajr ayat 15-30 dilantunkan oleh Drs. Widodo, M.Pd., sementara sari tilawah dibacakan oleh Meni Handayani, SS, M.Si. Dalam sambutannya, Plt Kepala Puslitjak Irsyard Zamjani P.hD. mengatakan secara harfiah bulan Ramadan merupakan bulan pembakaran, bulan penyucian dan bulan pembelajaran. Di bulan puasa kita sering diingatkan agar menjadi orang yang bertakwa. Namun, bila dicermati dalam ayat suci Al Quran surat Al Fajr ayat 15-30 yang sudah dilantunkan, sesungguhnya tujuan kita berpuasa selama satu bulan penuh adalah agar kita dapat menjadi orang yang rendah hati dan penuh rasa syukur.

Rendah hati adalah prasyarat mutlak agar kita mau dan terus belajar untuk mencapai kebesaran, yang mana ini merupakan proses yang terus menerus (life long learning). “Puslitjak adalah salah satu lembaga di lingkungan Kemdikbud-Ristekyang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk terus belajar karena kita memberikan masukan-masukan penting kepada stakeholder, agar dapat membuat kebijakan-kebijakan yang terukur dan berbasis bukti,” ujar Irsyad.

Selain itu, selama berpuasa kita juga didik untuk menjadi orang yang memiliki kemampuan untuk selalu bersyukur. Bersyukur sangat penting, lebih menghargai hidup yang telah diberikan oleh Tuhan, menjaganya dengan sepenuh jiwa, menjaga kesehatan dan juga peduli dengan keselamatan orang lain. Makna lebih besar bersyukur dalam hidup kita adalah bekerja dan beribadah sebaik-baiknya, mengerjakan kebajikan, serta menunaikan kewajiban ibadah yang diberikan kepada kita. Dengan demikian hidup kita akan jauh lebih bermakna.

Dalam kesempatan ini Dr. Agung Purwadi, mantan kepala Puslitjak yang telah purna tugas menyampaikan permintaan maaf apabila selama berinteraksi terdapat kekhilafan. Agung juga menyampaikan perihal ekosistem egaliter yang selama ini terbangun di Puslitjak merupakan modal positif dalam beinteraksi dan memajukan Puslitjak. Sejalan dengan pendapat tersebut, Dr. Muktiono Waspodo yang juga mantan kepala Puslitjak membenarkan bahwa sikap egaliter memiliki makna positif dalam mendukung kebijakan-kebijakan Kemdikbud.

                                                

Menjadi Hamba Tuhan yang Sesungguhnya

Pada puncak acara, keluarga besar Puslitjak mendapat siraman rohani dari Ustaz Dr. Fuad Thohari, M.Ag. dari UIN Jakarta. Dalam ceramahnya, Ustaz Fuad menyampaikan bahwa saat Ramadan datang, sambutan umat Islam dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, orang-orang yang menganggap bulan Ramadan sebagai hal biasa, sama seperti bulan-bulan lainnya, sehingga tidak melakukan persiapan dan ibadah secara khusus. Kedua, bulan Ramadhan disambut dengan suka cita sebagai tamu agung, sehingga ketika masuk bulan Ramadan ada perubahan pada sikap, perilaku, dan perubahan beribadah. Ketiga, adalah mereka yang merasa “tersiksa” dengan datangnya Ramadan, karena kesenangannya dibatasi dan hobinya dilarang.

Selanjutnya, bila Ramadan pergi apa yang akan dirasakan? Untuk kelompok pertama dan ketiga akan merasa senang kegirangan, karena bisa kembali melakukan kesenangan duniawi, namun bagi kelompok kedua akan bersedih karena tamu agungnya sudah pergi. Fuad memberikan penguatan, bahwa tidak perlu bersedih bila bulan Ramadan pergi, karena Ramadan akan kembali menemui kita. Namun bersedihlah, bila bulan Ramadan kembali datang tapi posisi kita sudah pergi meninggalkan dunia ini.

Meski demikian, Fuad berpesan, “Jadilah hamba Allah yang sebenarnya, dan jangan sekali-kali setiap tahun bertemu bulan Ramahan, tetapi selama itu pula kamu hanya menjadi budaknya bulan Ramadhan”. Kenapa tidak boleh menjadi budaknya Ramadan? “Sebab apabila kamu hanya menjadi budaknya bulan Ramadan, tiap tahun bulan Ramadan datang, kamu hanya menjadi budaknya bulan Ramadan saja, maka pasti ketika bulan Ramadan pergi meninggalkan kamu, maka ajaran-ajaran Allah juga akan ikut pergi bersama perginya bulan Ramadan”.

Fuad kemudian menutup ceramah dengan menyatakan bahwa ibadah puasa selama bulan Ramadan seharusnya dapat meningkatkan kualitas keimanan kita, yakni meningkat dari mukmin menjadi muttaqin, yakni insan yang senantiasa bertakwa, menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. [Linda Efaria]