logo-tut-wuri

Menyemai Toleransi dalam Dunia Pendidikan

Pengunggah
-
Tanggal Terbit
2021-05-03
Bagikan Laman Ini

Jakarta, Puslitjak - Tak ada yang menyangsikan bahwa di antara permasalahan pendidikan nasional adalah masalah pemerataan akses dan mutu layanan pendidikan. Namun, di balik dua persoalan itu, terdapat selubung masalah laten dalam dunia pendidikan, yaitu sikap intoleran dalam menyikapi perbedaan.

Pendidikan nasional memiliki amanat fundamental dalam menyelesaikan persoalan bangsa, salah satunya menyangkut kerukunan antarelemen masyarakat yang akhir-akhir ini sering ternodai. Sebagai sektor yang berperan menyiapkan generasi penerus, pendidikan menentukan wajah bangsa kita di masa yang akan datang.

Menyikapi fenomena itu, Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak), Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud pada Jumat, 30 April 2021 menyelenggarakan webinar bertajuk “Menyemai Toleransi di Bangku Sekolah”.

Diskusi ber-platform maya ini menghadirkan beberapa narasumber, antara lain Yunita Faela Nisa, peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta; Henny Supolo, founder Yayasan Cahaya Guru; Herman Hendrik, peneliti Puslitjak Kemendikbud, dan H. Yulianto, Walikota Salatiga.

Plt. Kepala Puslitjak, Irsyad Zamjani mengawali diskusi dengan sambutannya yang menyitir pendapat Mendikbud Nadiem Anwar Makarim mengenai tiga dosa besar yang tidak boleh terjadi di dunia pendidikan, yaitu perundungan, pelecehan seksual, dan intoleransi. Irsyad menambahkan, tema yang disuguhkan dalam diskusi webinar kali ini merupakan tema yang relevan sepanjang waktu.

 

“Meskipun secara umum masyarakat kita menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan keberagaman, akan tetapi masih ada sebagian elemen yang masih perlu dikuatkan kesadarannya. Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan Kemendikbud dari tahun ke tahun selalu mengupayakan agar pendidikan menjadi sarana memperkuat nilai-nilai luhur tersebut,” ujar Irsyad.

 

Yunita Faela Nisa yang tampil sebagai narasumber pembuka, mengawali paparannya dengan tayangan video dari hasil penelitian PPIM UIN tahun 2020 mengenai potensi sikap intoleran di kalangan dosen dan mahasiswa. Penelitian ini diklaim sebagai survei pertama yang mengambil sampel representasi 34 provinsi dari seluruh Indonesia.

“Pikiran manusia seperti labirin yang saling terkoneksi, tapi bayangkan jika pikiran manusia terkotak-kotak, kita akan kehilangan kesempatan untuk melakukan banyak hal,” tegas narasi yang sangat bertenaga dari video yang ditayangkan. Selanjutnya, Yunita memaparkan berbagai penelitian PPIM UIN sejak tahun 2017 dan 2018 yang menyasar guru dan siswa.

Pembicara berikutnya, yakni Walikota Salatiga, H. Yulianto yang menyampaikan strategi dan program-program yang ditempuhnya sejak 2011 hingga meraih berbagai prestasi di kancah provinsi hingga nasional. Beberapa di antaranya, menjadi kota dengan IPM tertinggi di Jawa Tengah dengan skor 83,14; angka kemiskinan terkecil kedua di Jawa Tengah (4,73); Inovasi SDM terbaik pada 2019 dan 2020 di Jawa Tengah; dan yang paling fenomenal, Kota Toleran pada 2015 (peringkat 2), 2017 (peringkat 3), 2018 (peringkat 2), dan 2020 (peringkat 1) berdasarkan survei Setara Institute.

Sementara Henny Supolo, menyampaikan paparan berjudul “Keragaman, Kebangsaan, dan Kemanusiaan dari Ruang Kelas”. Dia menguraikan perihal strategi dan pengalamannya dalam meretas ide keberagaman yang dimulai beberapa kurun waktu silam melalui lembaga pendidikan.

Kata kunci yang Henny sampaikan dan dinukil berulang kali oleh narasumber lainnya adalah “upaya untuk membuka ruang-ruang perjumpaan”. Ruang ini penting untuk mencairkan suasana dan menjadi gerbang pembuka hubungan saling membutuhkan antarelemen masyarakat.

Sebagai pamungkas, Herman Hendrik memaparkan hasil penelitiannya di tahun 2019 yang mengambil judul “Belajar Hidup Berdampingan: Praktik Pengelolaan Keragaman di Sekolah”. Peneliti Puslitjak ini menjelaskan mengani temuan penelitiannya yang dirumuskan sebagai empat model pengelolaan keragaman di sekolah, antara lain sekolah yang cenderung normatif, mandiri, maju, dan inovatif dalam mengelola keberagaman.

Pada sesi tanya jawab, muncul ide menarik dari peserta webinar mengenai proses rekrutmen guru di tingkat nasional yang seyogianya terlebih dahulu disebar antarpulau dan provinsi untuk mengalami dan merasakan keragaman budaya Indonesia.

Mengalami keberagaman tentu penting untuk menghargai dan merayakannya sebagai kekayaan bangsa. “Keberagaman adalah sebuah keniscayaan dan fitrah manusia. Bagaimana cara kita menyikapi keberagaman itu adalah sesuatu yang harus selalu kita perbaiki dan tingkatkan setiap saat,” ujar Irsyad menutup diskusi. [Untung Tri Rahmadi]