Kembali ke Atas

Kabar

FELT 2024: Upaya Bersama Mengatasi Kesenjangan dalam Pendidikan

Jakarta, 24 Juli 2024 – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP), Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) bekerja sama dengan Article 33 Indonesia menyelenggarakan Forum on Education and Learning Transformation (FELT) Indonesia 2024, pada 22 s.d. 23 Juli 2024 di AYANA Midplaza, Jakarta. 

Forum ini bertujuan untuk menghimpun ragam penelitian pendidikan dari berbagai kalangan, mendorong munculnya riset-riset baru di bidang pendidikan yang dapat menjadi referensi dalam pengembangan kebijakan, serta memberi ruang bagi peneliti, akademisi, pakar pendidikan, dan praktisi untuk mendiskusikan hasil-hasil risetnya.


Mengangkat tema “Mengatasi Kesenjangan Pendidikan di Indonesia”, FELT 2024 dibuka oleh Iwan Syahril sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD, Dikdas, Dikmen) yang menyampaikan harapannya agar FELT 2024 mampu menghasilkan inovasi untuk mengatasi masalah kesenjangan pendidikan di Indonesia.

“Semoga paper yang nantinya akan dipresentasikan dapat menginspirasi banyak pihak dan menjadi salah satu bentuk inovasi dalam pemecahan kesenjangan pendidikan di Indonesia,” ujar Iwan.

Sementara, Kepala PSKP Kemendikbudristek, Irsyad Zamjani dalam sambutannya menyampaikan, “Penyelenggaraan FELT tahun ini mengangkat tema besar mengenai kesenjangan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, komitmen dan upaya besar Kemendikbudristek dalam mengatasi hal tersebut perlu terus dijaga keberlanjutannya. Melalui FELT ini, sekaligus kami juga mengajak kepada para peneliti dan akademisi untuk menjadi bagian dari upaya besar tersebut.”

Direktur Eksekutif Article 33 Indonesia, Santoso menambahkan bahwa jumlah abstrak yang diterima tahun ini meningkat hampir 100%, dengan total 215 abstrak dari dalam maupun luar negeri. Kualitas abstrak yang masuk juga semakin baik, di mana sebagian besar abstrak membahas praktik baik inovasi dan strategi pembelajaran yang beragam.

Pada hari pertama, FELT 2024 menghadirkan Dialog Kebijakan dalam dua sesi. Sesi pertama diisi oleh Menno Pradhan dari University of Amsterdam, Zulfa Sakhiyya dari Universitas Negeri Semarang, Arief Anshory Yusuf dari Universitas Padjadjaran, dan Mohamad Fahmi dari Universitas Padjadjaran. Sesi paparan dan diskusi tersebut dimoderatori oleh Vivi Alatas, senior advisor Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).

Dengan presentasi berjudul “Reducing Inequality in Access to Education: A Study from Yogyakarta”, Menno menyimpulkan perlunya pemerataan kualitas sumber daya sekolah dalam mendukung implementasi kebijakan zonasi yang efektif. Selain itu, Platform Merdeka Mengajar menurutnya menjadi sangat potensial dalam mendukung pemerataan kualitas guru. 

Zulfa, di sisi lain, menyoroti ketimpangan gender dalam dunia akademis dalam presentasi bertajuk “Academic Works and Gender Gap”. Zulfa menyarankan intervensi kebijakan untuk mencegah ketimpangan gender di masa depan tidak sebatas pada akses dan pembagian kerja, namun pengakuan dan penghargaan kepada para pekerja perempuan yang berupah rendah atau pun tidak dibayar. Ia juga menekankan perlunya kebijakan yang peka terhadap isu gender, disability, dan social inclusion (GEDSI).

Arief Anshory melanjutkan diskusi dengan menunjukkan pergeseran penyebab ketimpangan di Indonesia melalui paparan berjudul “Skills or Tasks: The Drivers of Rising Inequality in Indonesia and Their Implications”.  Arief mengungkap bahwa salah satu penyebab ketimpangan bukanlah struktur, tetapi komposisi. Misalnya, bukan mengenai masalah akses masuk perguruan tinggi, melainkan komposisi upah lulusan. Selain itu, beliau menyarankan agar fokus utama diarahkan pada peningkatan mutu pembelajaran di dalam kampus.

Sementara Mohammad Fahmi menyoroti pentingnya kebijakan afirmatif dan keberpihakan pemerintah terhadap kelompok-kelompok minoritas yang kurang mampu dalam memperoleh akses ke pendidikan tinggi. Dia berpendapat bahwa praktik afirmatif tidak hanya perlu difokuskan pada wilayah Indonesia Timur, tetapi juga pada kelompok-kelompok minoritas di seluruh Indonesia.


Pada sesi kedua Dialog Kebijakan, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendikbudristek Suharti hadir sebagai pembicara tamu. Lalu, kegiatan dilanjutkan dengan pemaparan oleh Anindito Aditomo selaku Kepala BSKAP Kemendikbudristek, Javier Luque dari The Global Partnership Education (GPE), Asep Suryahadi dari The SMERU Research Institute, dan Trina Fizzanty dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kegiatan paparan dan diskusi  kedua dipandu oleh Itje Chodidjah yang merupakan Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia (KNIU) untuk UNESCO.

Melalui presentasi bertajuk “Promoting Equity in Education”, Anindito menekankan bahwa ketimpangan bukan suatu keniscayaan, melainkan kondisi yang dapat diupayakan untuk diatasi. Ia menjelaskan upaya pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah ini, seperti distribusi sumber daya yang lebih afirmatif melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Indonesia Pintar (PIP), dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS); kontekstualisasi kurikulum melalui Kurikulum Merdeka; akses pengembangan guru yang lebih demokratis melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM); menetapkan target kompetensi literasi dan numerasi yang diukur melalui Asesmen Nasional dan Rapor Pendidikan; serta desegregasi melalui kebijakan zonasi.

Anindito menyimpulkan bahwa kebijakan Merdeka Belajar telah membawa perbaikan signifikan, namun perlu adanya upaya lebih terfokus pada sekolah dan kelompok-kelompok yang tertinggal, sehingga mereka mendapatkan manfaat lebih dari kebijakan-kebijakan pemerintah.

Javier pun turut menggarisbawahi pentingnya perhatian pemerintah terhadap kebijakan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan siswa dengan kondisi sosial ekonomi tertinggal.

Sementara Asep Suryahadi mengafirmasi dampak signifikan implementasi Kurikulum Merdeka dalam mengurangi kesenjangan pendidikan, sehingga ke depannya, perlu didalami aspek kekuatan serta kelemahan kebijakan yang ada agar dapat terus diperbaiki. Asep juga menekankan pentingnya kerja sama lintas sektor dalam upaya mengatasi kesenjangan pendidikan.

Trina Fizzanty menutup diskusi dengan menekankan pentingnya peningkatan kapasitas, terutama pendidik, dalam implementasi Kurikulum Merdeka.

Pada hari kedua, Selasa 23 Juli 2024, acara FELT 2024 diisi dengan sesi presentasi 31 orang pemakalah dengan berbagai judul penelitian yang berfokus pada empat aspek utama, yaitu guru dan tenaga kependidikan, pembelajaran, GEDSI (gender equality, disability, dan social inclusion), serta infrastruktur pendidikan dan akses digital. [Asma Aisha]