Kembali ke Atas

Kabar

Tiga Tahun Pandemi, Bangkit Lebih Kuat

Oleh Mark Heyward

Direktur Program INOVASI

Penggunaan kurikulum yang fleksibel terbukti berkontribusi dalam pemulihan pembelajaran. Tren ini perlu dijaga untuk mengatasi krisis pembelajaran, baik akibat pandemi maupun yang sudah lama menjadi tantangan pendidikan.

Tiga tahun telah berlalu sejak Covid-19 menyerang Indonesia. Maret 2020, sekolah-sekolah ditutup, dan 68 juta peserta didik harus belajar dalam kondisi darurat. Selama dua tahun, pelajar Indonesia, khususnya di kelas awal sekolah dasar, terancam kehilangan pembelajaran (learning loss).

Seiring waktu, indikasi terjadinya pemulihan pembelajaran (learning recovery) mulai menunjukkan hasil yang menjanjikan. Namun, kesenjangan pembelajaran (learning gap) masih lebar.

Sejumlah besar peserta didik kelas awal sekolah dasar belum memiliki keterampilan dasar literasi dan numerasi. Tanpa penyesuaian kurikulum dan pembelajaran, peserta didik itu kemungkinan besar akan ikut sekolah dan menjalani kehidupan mereka tanpa memiliki kemampuan membaca dan menulis, sehingga pada dasarnya tidak bisa belajar.

Ketidakmampuan pada tahap awal memiliki pengaruh besar terhadap semakin tidak mampunya mereka menangkap pengetahuan baru pada tahap pendidikan selanjutnya. Apabila tidak diatasi, hal ini memiliki dampak jangka panjang terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia.

Kabar baiknya, pemerintah telah sigap merespons dan menangani krisis pembelajaran akibat pandemi ini dengan baik. Ini diawali dengan peluncuran kurikulum khusus untuk kondisi tertentu atau dikenal dengan Kurikulum Darurat, yaitu Kurikulum 2013 yang disederhanakan.

Pemerintah juga telah memperkenalkan kebijakan Merdeka Belajar yang memberikan perubahan mendasar terhadap kurikulum dan penilaian, serta menitikberatkan fokus utama pembelajaran kepada keterampilan dasar, yaitu literasi dan numerasi. Perubahan kurikulum ini telah membantu guru dalam melaksanakan pembelajaran yang lebih sesuai kebutuhan peserta didik sehingga peserta didik perlahan mulai pulih dari dampak penutupan sekolah.

Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), yang merupakan program kerja sama antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia, dirancang untuk mengatasi masalah tersebut dan membantu Indonesia meningkatkan capaian pembelajaran bagi semua peserta didik. Bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), INOVASI melakukan sebuah studi yang berkaitan dengan learning loss dan learning gap.

Learning loss merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan ketika peserta didik kehilangan pengetahuan yang sebenarnya telah mereka pelajari sebelumnya atau ketika mereka kehilangan kesempatan belajar, misalnya selama penutupan sekolah. Sementara itu, learning gap mengacu kepada kesenjangan antara apa yang telah dikuasai oleh peserta didik dan apa yang seharusnya mereka kuasai, sesuai dengan standar yang telah ditentukan, misalnya di kurikulum.

Studi learning loss dan learning gap ini meliputi pengukuran keterampilan literasi dan numerasi peserta didik kelas I-III. Learning gap dinilai dengan menguji tingkat literasi dan numerasi 18.370 anak di 20 kabupaten dan kota pada April-Mei 2021. Keterampilan literasi dan numerasi dibandingkan dengan standar nasional dan internasional.

Setahun setelah pandemi, peserta didik kelas I yang naik ke kelas II mengalami learning loss di keterampilan literasi yang setara dengan lima bulan belajar.

Sementara itu, learning loss dinilai dengan menguji anak sebelum dan selama pandemi. Pengukuran ini dilakukan sebelum pandemi (Januari 2020), 12 bulan setelah pandemi (Mei 2021), dan satu tahun setelahnya (Agustus 2022). Sampel dalam studi ini meliputi 4.103 peserta didik dan 360 guru di 69 sekolah mitra INOVASI di tujuh kabupaten di empat provinsi, yaitu NTB, NTT, Kalimantan Utara, dan Jawa Timur.

Hasil studi ini menemukan bahwa peserta didik di sekolah-sekolah sampel benar-benar mengalami learning loss. Setahun setelah pandemi, peserta didik kelas I yang naik ke kelas II mengalami learning loss di keterampilan literasi yang setara dengan lima bulan belajar.

Artinya, setahun setelah pandemi berlangsung, kemajuan belajar siswa dari kelas I ke kelas II lebih lamban lima bulan jika dibandingkan dengan situasi sebelum pandemi. Numerasi pun mengalami masalah yang sama, yaitu hilangnya keterampilan numerasi yang setara dengan enam bulan belajar.

Temuan penting lainnya adalah learning loss yang terjadi cenderung semakin memperparah learning gap yang sudah terjadi bahkan sebelum pandemi. Dengan kata lain, target yang ditetapkan di Kurikulum 2013 dan Kurikulum Darurat terlalu tinggi bagi peserta didik. Pandemi telah membuat kesenjangan yang ada menjadi semakin lebar.

Selain itu, hanya 22 persen peserta didik kelas I yang mampu memenuhi ekspektasi kurikulum dalam hal keterampilan numerasi. Di kelas yang lebih tinggi, hasilnya lebih memprihatinkan, yaitu hanya 5 persen untuk kelas II dan 1 persen untuk kelas III.

Temuan ini menunjukkan kesenjangan yang semakin lebar dari tahun ke tahun. Peserta didik yang seharusnya berkembang pengetahuannya melalui sekolah justru kebanyakan dari mereka semakin tertinggal dalam mengejar ekspektasi kurikulum yang tinggi.

Dua tahun setelah pandemi, hasil pembelajaran semakin baik, tetapi kesenjangannya tetap lebar. Persentase peserta didik di kelas I, kelas II, dan kelas III yang mampu memenuhi ekspektasi kurikulum masing-masing meningkat menjadi 38 persen, 14 persen, dan 4 persen.

Terlepas dari dampak Covid-19, kurikulum tradisional memang bergerak terlalu cepat bagi peserta didik. Sebagai contoh nyata, pada 2021 atau satu tahun setelah Covid-19 masuk ke Indonesia, hanya 39 persen peserta didik kelas I yang dapat menjawab dengan benar pertanyaan 5+15. Hanya 55 persen peserta didik kelas II yang dapat menjawab dengan benar pertanyaan 2x3. Hanya 21 persen peserta didik kelas III yang dapat menjawab dengan benar pertanyaan 56:7.

Pada 2022 atau dua tahun semenjak pandemi mulai terjadi, tingkat keberhasilan menjawab soal yang sama meningkat menjadi 66 persen pada peserta didik kelas 1, 69 persen pada kelas II, dan 31 persen pada kelas III.

Mulai pulih

Efek pandemi terhadap pembelajaran tidak sama bagi semua peserta didik. Peserta didik laki-laki dan perempuan mengalami dampak yang berbeda. Peserta didik penyandang disabilitas (mental atau fisik) mengalami lebih banyak learning loss. Peserta didik yang berbicara bahasa daerah dan belum fasih berbahasa Indonesia terdampak lebih parah.

Peserta didik yang tidak mengenyam pendidikan taman kanak-kanak atau prasekolah mengalami learning loss yang lebih signifikan. Peserta didik dari daerah 3T lebih terdampak dibandingkan peserta didik di perkotaan. Akan tetapi, peserta didik yang dibimbing oleh orangtua mereka selama belajar di rumah menunjukkan hasil yang lebih baik.

Dua tahun setelah pandemi, ditemukan indikasi adanya pemulihan pembelajaran (learning recovery) yang setara dengan dua bulan masa pembelajaran.

Untungnya, pembelajaran mulai pulih meskipun prosesnya harus menempuh jalan yang panjang. Pada 69 sekolah sampel dalam penelitian INOVASI, capaian pembelajaran menurun drastis pada tahun pertama pandemi, tetapi mereka mulai pulih pada tahun berikutnya. Dua tahun setelah pandemi, ditemukan indikasi adanya pemulihan pembelajaran (learning recovery) yang setara dengan dua bulan masa pembelajaran, baik untuk literasi maupun numerasi. Dengan demikian, meskipun masih ada learning loss, ada indikasi ke arah perbaikan.

Kabar baik lainnya, sekolah, guru, dan kurikulum dapat membuat perubahan. Ketika sekolah berupaya memastikan peserta didik melanjutkan pembelajaran mereka di rumah, hasil pembelajaran menjadi lebih baik. Guru dengan kualifikasi yang tinggi mendapatkan hasil yang lebih baik, begitu juga dengan guru yang memiliki akses ke internet dan teknologi.

Pemulihan pembelajaran semakin meningkat ketika guru menggunakan tes diagnostik untuk mengetahui apa yang perlu dipelajari peserta didik, dan kemudian memberikan pelajaran berdasarkan hasil tes tersebut. Ketika guru menerapkan kurikulum, yang disederhanakan (seperti Kurikulum Darurat, kurikulum yang disederhanakan secara mandiri, ataupun Kurikulum Prototipe/atau bentuk awal Kurikulum Merdeka), peserta didik mengalami learning recovery yang setara dengan empat bulan masa pembelajaran.

Studi ini menyampaikan pesan penting bahwa peserta didik membutuhkan kurikulum yang fleksibel yang memberi ruang bagi guru untuk menyesuaikan pembelajaran sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik. Ekspektasi Kurikulum 2013 terlalu tinggi jika dibandingkan dengan tolok ukur internasional dan kemampuan aktual sebagian besar peserta didik di setiap kelas.

Kurikulum terstandardisasi yang mengabaikan perbedaan individu membuat banyak peserta didik mengalami kegagalan. Sebagian besar peserta didik kesulitan mengikuti kurikulum ini. Hal ini menyebabkan kesenjangan semakin besar setiap tahun.

Guru membutuhkan kurikulum fleksibel yang disesuaikan dengan peserta didik, kurikulum yang mengutamakan kemampuan dasar literasi dan numerasi di kelas awal, dan kurikulum yang tidak terlalu padat konten. Guru membutuhkan kebebasan dan kemampuan untuk menguji peserta didik dan menerapkan kurikulum berdasarkan kebutuhan peserta didik mereka. Studi tersebut menunjukkan bahwa kurikulum darurat yang disederhanakan memberikan hasil yang lebih baik bagi peserta didik.

Kurikulum Merdeka yang diluncurkan pemerintah pada Februari 2022 menawarkan lebih banyak manfaat. Ini pertama kali Indonesia memiliki kurikulum yang memberikan kebebasan kepada sekolah dan guru untuk menyesuaikan pembelajaran dan mengajar peserta didik sesuai tingkat yang mereka butuhkan, alih-alih mengharapkan mereka mengikuti target kurikulum. Apalagi kalau kurikulumnya terlalu padat kontennya dan bergerak terlalu cepat bagi sebagian besar peserta didik.

Tantangan yang harus dihadapi adalah meningkatkan keterampilan semua guru untuk mengimplementasikan Kurikulum Merdeka di seluruh negeri. Upaya ini sedang berlangsung dan memerlukan waktu yang panjang. Kurang dari setahun yang lalu, Kurikulum Merdeka diperkenalkan sebagai opsi untuk sekolah-sekolah.

Guru membutuhkan waktu untuk mempelajari pemahaman dan keterampilan baru yang dibutuhkan. Reformasi kurikulum memberikan harapan terjadinya pemulihan pembelajaran dan, pada akhirnya, menghasilkan capaian pembelajaran yang jauh lebih baik untuk semua peserta didik di Indonesia.

Artikel ini pertama kali terbit di: kompas.id 

Sumber foto: Heryunanto/Kompas.id