Kembali ke Atas

Kabar

Profil Pelajar Pancasila dan Konsolidasi di Sekolah

Oleh Anita Lie

FKIP Unika Widya Mandala Surabaya

Oknum guru dan kepala sekolah yang bertindak intoleran tidak layak menjadi pendidik karena sudah meracuni lingkungan belajar dengan nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila.

Rekaman percakapan Kepala SMKN 2 Padang dengan seorang wali murid yang menjadi viral telah mengusik rasa kebangsaan.

Rekaman itu juga mengingatkan pada banyak kasus serupa di sektor pendidikan. Kepala sekolah mewajibkan semua siswi memakai hijab karena itu merupakan peraturan sekolah. Wali murid berkeberatan putrinya mengenakan hijab karena tidak sesuai dengan agama yang mereka anut. Mereka berpendapat, sekolah negeri harusnya tidak memberlakukan peraturan berdasarkan satu agama.

Sebelumnya, ada kasus guru SMAN 58 Ciracas, Jakarta Timur, yang melakukan intervensi dalam pemilihan ketua OSIS. Laporan pengaduan dilakukan oleh perwakilan siswa. Demikian pula kasus pemilihan ketua OSIS di SMAN 6 Depok yang menyisakan banyak pertanyaan.

Tiga kasus ini bisa jadi merupakan pucuk gunung es dari pelanggaran nilai-nilai Pancasila di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya menjadi tempat persemaian bagi wawasan, sikap, dan perilaku kebangsaan para calon pemimpin bangsa.

Komisioner KPAI, Retno Listyarti, menilai, intervensi guru dalam pemilihan ketua OSIS atas dalil agama merupakan ancaman atas keragaman di sekolah negeri.

Sementara sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran itu belum jelas, reaksi telah bermunculan dari sejumlah pihak. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, menilai, intervensi guru dalam pemilihan ketua OSIS atas dalil agama merupakan ancaman atas keragaman di sekolah negeri. Wakil Gubernur DKI Jakarta menyatakan, kasus itu bisa diselesaikan secara musyawarah mufakat dan kekeluargaan.

Atas kasus kewajiban mengenakan hijab di SMKN 2 Padang, reaksi muncul dari Alisa Wahid, Ombudsman Sumatera Barat, Komisioner KPAI, dan Wakil Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono.

”Kepala sekolah (negeri) yang juga ASN (aparatur sipil negara) sejak dilantik sudah disumpah untuk setia kepada Pancasila, konstitusi, dan NKRI. Untuk itulah, kebijakan sekolah harus sesuai nilai-nilai Pancasila dengan menghormati pilihan agama para muridnya selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” ujar Hariyono. Bersyukur, reaksi-reaksi terhadap berbagai pelanggaran ini menunjukkan kesadaran melawan tindakan intoleransi masih belum tumpul.

Kebutuhan keberagaman

Tindakan intoleransi itu tidak hanya suatu bentuk pelanggaran hukum, tetapi juga sudah menimbulkan kerusakan dalam dua tingkat. Pertama, pada tingkat pribadi, keberagaman suatu komunitas merupakan anugerah yang bisa memperkaya proses pembelajaran peserta didik.

Dalam perkembangan kognisi, menurut Jean Piaget, seorang anak belajar melalui proses asimilasi dan akomodasi untuk menumbuhkembangkan proses dan pola berpikirnya. Dalam proses asimilasi, orang mengubah realitas obyektif untuk memenuhi pola pikir yang sudah terbentuk sebelumnya.

Sebaliknya, dalam proses akomodasi, orang mengubah pola pikirnya untuk menyesuaikan realitas obyektif. Kedua proses mesti berjalan seimbang agar titik ekuilibrium bisa dicapai. Lingkungan belajar yang homogen dengan norma-norma dan pemikiran tunggal bisa memasung perkembangan menuju kedewasaan berpikir dan emosi. Sebab, proses berpikir tidak cukup ditantang untuk mengolah realitas obyektif yang berbeda.

Pada tingkat selanjutnya, selepas dari sekolah, orang-orang yang tak terlatih hidup dalam keberagaman ini menghadapi dua pilihan ketika harus hidup bermasyarakat. Mungkin karena tuntutan pekerjaan ketika harus berinteraksi dengan orang lain dari latar belakang berbeda, mereka bisa mengalami gegar budaya dan ketakutan kepada yang berbeda.

Pilihan lain, membentengi diri dalam lingkungan yang sama. Padahal, dunia butuh manusia dari berbagai latar belakang yang bisa bekerja sama. Sekolah semestinya menjadi laboratorium persiapan para siswa untuk bisa hidup dalam masyarakat yang sangat beragam.

SDM unggul merupakan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila.

Profil Pelajar Pancasila

Kita patut mengapresiasi gagasan sangat penting yang dirumuskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yakni Profil Pelajar Pancasila (PPP) dalam mengembangkan sumber daya manusia (SDM) unggul Indonesia. SDM unggul merupakan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila. Secara lebih spesifik, pelajar Pancasila berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, bergotong royong, dan berkebinekaan global.

Bahkan, Kemendikbud sudah merencanakan survei karakter dan lingkungan belajar untuk mengukur aspek-aspek nonkognitif yang akan melengkapi asesmen kompetensi minimal. Mengacu PPP, semua proses perencanaan dan pelaksanaan kurikulum di setiap sekolah perlu mengintegrasikan penghargaan akan perbedaan, keterampilan kolaborasi, minat dan kepedulian pada isu-isu sosial, serta disposisi dan kebiasaan belajar secara mandiri. Survei ini juga akan mengukur disposisi/perilaku negatif, seperti intoleransi/radikalisme, kekerasan seksual, dan perundungan.

Survei karakter hanya bisa mencapai hasil yang diharapkan dalam pengembangan pelajar Pancasila jika disertai Survei Lingkungan Belajar untuk guru dan kepala sekolah. Anak belajar bukan dengan mendengar kata-kata guru, melainkan melihat tindakan guru dan kepala sekolah. Akhir-akhir, ini dunia pendidikan kita dicemari tindakan oknum sekolah yang terang-terangan bertindak intoleran dan radikal serta beberapa penulis materi pembelajaran yang tidak menghargai keberagaman.

Reaksi-reaksi spontan yang menolak tindakan intoleran sudah bagus. Bahkan, beberapa dinas pendidikan sudah melaksanakan intervensi sosialisasi dan diklat PPP bagi para guru, kepala sekolah, dan pengawas. Namun, reaksi dan intervensi saja tidak cukup. Perlu ada kebijakan dan tindakan pencegahan menyeluruh untuk mencegah kerusakan lebih lanjut akibat intoleransi di sekolah.

Dua opsi yang perlu terus diperjuangkan adalah mengembangkan sikap toleransi terhadap orang lain, mau menghargai perbedaan, serta berani melawan praktik-praktik intoleransi (Joko Susanto, 2020).

Oknum guru dan kepala sekolah yang bertindak intoleran tidak layak menjadi pendidik karena sudah meracuni lingkungan belajar dengan nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila. Sudah saatnya Kemendikbud dan dinas pendidikan di seluruh Indonesia melakukan upaya-upaya terstruktur, sistematis, dan masif sampai ke tingkat sekolah guna memastikan para guru, kepala sekolah, dan pengawas bekerja sepenuh hati dalam penguatan karakter siswa dengan merujuk pada PPP.

Artikel pertama kali terbit di: kompas.id

Sumber foto: Kompas.id