Kembali ke Atas

Antitesis Pendidikan

Oleh Iwan Syahril

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah


Di mana pun sebuah antitesis akan mengoyak kenyamanan ”status quo”, termasuk di dunia pendidikan. Kita sedang membutuhkan sebuah antitesis demi memastikan pendidikan nasional mampu melompat dan menyusul ketertinggalan.

Persoalan pendidikan nasional selalu menarik diperbincangkan. Apalagi, pandemi Covid-19 telah menjadi salah satu bukti sahih atas berbagai ketimpangan dan persoalan yang terjadi. Kini, semua mata lebih terbuka betapa pendidikan kita masih berada jauh di bawah negara-negara lain.

Lihat saja, seluruh elemen pendidikan tergagap saat kita mendadak harus melakukan pembelajaran jarak jauh lantaran tatap muka tak mungkin dilakukan. Bukan semata infrastruktur digital yang timpang, guru dan murid juga banyak yang gagap teknologi di awal masa pandemi. Tengok juga guru-guru honorer yang puluhan tahun menjerit lantaran kesejahteraan mereka tak memadai. Selama itu pula belum ada solusi konkret dari pemerintah akan persoalan ini.

Belum lagi, kualitas lulusan perguruan tinggi yang sulit bersaing di dunia kerja. Sampai-sampai pengangguran dari kalangan anak muda sangat tinggi. Data Badan Pusat Statistik mencatat hampir satu juta sarjana menganggur. Ini belum termasuk lulusan sekolah menengah yang jumlahnya lebih banyak lagi.

Maka tak heran, hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang diterbitkan Maret 2019 menempatkan kemampuan membaca, sains, dan matematika Indonesia di urutan ke-74 dari 79 negara. Dalam 20 tahun terakhir sampai 2018, kualitas pendidikan Indonesia tidak menunjukkan peningkatan signifikan.

Persoalan kebijakan
Jika dirunut lebih jauh, salah satu persoalan utama yang membelenggu pendidikan kita adalah kebijakan dan keberpihakan. Banyak kebijakan pendidikan selama ini yang tak berani keluar dari pakem dan kebiasaan lama. Akibatnya, hasil yang diperoleh sudah bisa ditebak dan seolah jalan di tempat. Kebijakan pendidikan cenderung mempertahankan status quo yang puluhan tahun berlangsung dan terbukti gagal mendongkrak kualitas pendidikan nasional.

Dunia sudah berubah. Dunia kini penuh sesak dengan ketidakpastian dan tantangan besar, termasuk salah satunya disrupsi digital yang tak bisa dihindari. Tentu sangat aneh manakala ada pakar yang menilai seolah kebijakan pendidikan yang mengundang kontroversi sebagai sebuah langkah keliru.

Padahal, beberapa kebijakan pendidikan yang katanya kontroversial justru mampu menggugah gerakan masif dari publik yang selama ini apatis.

Contoh saja, saat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim melonggarkan peraturan tentang dana bantuan operasional sekolah (BOS). Dana BOS kini langsung ditransfer ke rekening sekolah dan penggunaannya lebih fleksibel sesuai kebutuhan dan program prioritas sekolah. Padahal, awalnya perubahan mekanisme dana BOS ini sarat kontroversi.

Demikian pula dengan program kolaborasi kampus dengan swasta bernama Kampus Merdeka. Kemendikbudristek terbukti mampu menjadi jembatan kampus dengan industri yang selama ini seolah tak nyambung. Mahasiswa juga diajak belajar langsung di dunia kerja nyata yang adakalanya tak seindah bayangan mereka di kampus.

Belum lagi rekrutmen sejuta guru honorer melalui Program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Andai kontroversi belaka yang jadi pertimbangan, mungkin rekrutmen terbesar sepanjang sejarah untuk mengangkat nasib guru honorer ini tak akan pernah terjadi. Logika berpikir yang menyatakan bahwa berbagai episode Merdeka Belajar hanya bersifat elitis sejatinya kurang berdasar. Apalagi, saat dihubungkan dengan tesis bahwa pendidikan adalah sebuah investasi jangka panjang yang hasilnya tak mungkin dinikmati dalam hitungan hari.

Hasil Program Penggerak yang digagas Kemendikbudristek pasti tak bisa dinikmati dalam sekejap. Contohnya, Program Guru Penggerak, sebuah program kepemimpinan pendidikan, yang sudah empat angkatan dengan jumlah guru yang terlibat lebih dari 16.000 guru dari 290 kabupaten/kota dan 33 provinsi. Jumlahnya memang masih kecil dibandingkan tiga juta guru di Indonesia karena program ini masih seumur jagung. Namun, gelombang perubahan sudah semakin terasa.

Tingginya animo guru-guru untuk ikut program untuk calon pemimpin pendidikan ini adalah salah satu buktinya. Berbagai inovasi oleh mereka terus bermunculan dan membawa harapan kuat akan transformasi paradigma kepemimpinan pendidikan kita.

Anggapan kebijakan Merdeka Belajar yang diluncurkan Kemendikbudristek adalah bagian upaya memanipulasi filosofi Ki Hajar Dewantara juga berlebihan. Banyak kalangan pendidik, termasuk anak-anak muda, yang selama ini kurang mengenal filosofi Bapak Pendidikan Indonesia, kini mulai mendalaminya dan terinspirasi dengan berbagai gagasan progresif beliau. Sebuah gerakan yang justru positif di tengah minimnya minat kaum muda terlibat langsung di bidang pendidikan.

Penilaian bahwa Kemendikbudristek semestinya bebas dari gerakan politik pun terasa naif. Bagaimanapun sebuah kementerian dan pejabatnya tak akan pernah lepas dari urusan politik, sekecil apa pun. Kesuksesan sebuah kebijakan juga tak lepas dari komunikasi politik yang baik, terlebih di tengah kebutuhan kolaborasi dan koordinasi intensif dengan pemerintah daerah di 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi.

Etika dan karakter
Sesungguhnya tak ada yang salah dengan kritik terhadap berbagai kebijakan pendidikan. Justru itu perlu terus dilakukan di sebuah negara demokrasi demi memastikan kebijakan tepat sasaran. Yang menjadi persoalan adalah saat kritik terlontar tanpa kejelasan dasar dan nirsolusi.

Arah pendidikan nasional kini sudah jelas, yakni membentuk Profil Pelajar Pancasila yang tidak hanya berkutat pada literasi dan numerasi. Lebih dari itu, pendidikan etika dan karakter memegang peranan sangat penting. Keberadaan Program Asesmen Nasional adalah salah satu langkah konkretnya, yang bagi penganut status quo program ini lagi-lagi mengusik kenyamanan.

Di mana pun sebuah antitesis akan mengoyak kenyamanan status quo, termasuk di dunia pendidikan. Apalagi, saat antitesis datang dari barisan anak muda yang ditugasi Presiden menciptakan lompatan di tengah beban pendidikan masa lalu yang berat.

Kemendikbudristek ibarat kapal yang harus digerakkan dengan tenaga superbesar. Dan itu hampir tidak mungkin dilakukan hanya oleh pemerintah dengan anggaran negara terbatas. Harus ada gerakan-gerakan bersama antara pemerintah, pakar, masyarakat sipil, hingga swasta yang menjadi energi untuk menggerakkan kapal besar itu.

Jika ini tidak dilakukan, pendidikan kita akan tetap jalan di tempat, bahkan hampir pasti akan semakin mundur dan tertinggal jauh dibandingkan tetangga. Saat ini, kita memang sedang membutuhkan sebuah antitesis demi memastikan pendidikan nasional mampu melompat dan menyusul ketertinggalan.

Artikel pertama kali terbit di: kompas.id
Sumber foto : Didie SW/Kompas.id