Kembali ke Atas

Membaca PISA dengan Kritis

Awal bulan depan OECD akan mengumumkan hasil PISA 2022 untuk 80 negara yang berpartisipasi, termasuk Indonesia. Bagaimana potret literasi murid Indonesia di PISA terbaru ini? Ingat PISA 2022 dilakukan setelah penutupan sekolah akibat pandemi selama 23 bulan. Menurut Bank Dunia, penutupan sekolah di Indonesia termasuk paling lama sedunia. Kajian Kemendikbud-Ristek bersama INOVASI mencatat, siswa sekolah dasar di Indonesia kehilangan pembelajaran (learning loss) setara 11-12 bulan belajar. Karena itu, skor PISA Indonesia 2022 kemungkinan besar turun, meski hasil persisnya baru diketahui setelah pengumuman.

Pengaruh global PISA

Sorotan publik pada hasil PISA bukan hanya di Indonesia. Sejak diluncurkan pada 2000, PISA sudah menunjukkan pengaruh internasionalnya. Finlandia menjadi primadona setelah menempati peringkat pertama pada PISA 2000 yang membuat pendidik dari berbagai penjuru dunia rutin menyambangi untuk studi banding.

Di sisi lain, Jerman mengalami ‘guncangan PISA’ karena hasilnya jauh dari harapan. Skor PISA 2000 Jerman ada di peringkat 22 dari 32 negara, dengan kesenjangan sosial-ekonomi tergolong paling tinggi sedunia. Ini menghancurkan persepsi dirinya sebagai negara dengan sistem pendidikan unggul.

Menurut catatan Andreas Schleicher, arsitek PISA di OECD, guncangan PISA menjadi faktor penting reformasi pendidikan di Jerman. Mulai perluasan akses PAUD; perubahan kurikulum sains dan matematika dari abstrak ke penerapan teori pemecahan masalah; perumusan standar nasional mata pelajaran pokok, dan pemantauannya melalui asesmen nasional; serta perhatian lebih pada kelompok marjinal. Kasus Jerman menjadi contoh, bagaimana PISA memantik reformasi komprehensif untuk meningkatkan kualitas sekaligus kesetaraan pendidikan. 

Kritik terhadap PISA

Pengaruh global PISA sudah tak diragukan. Tapi tidak semua sepakat pengaruh itu baik. PISA dikritik secara filosofis maupun metodologis. Secara filosofis, Yong Zhao, profesor dari Kansas University, menilai pengaruh global PISA mereduksi makna pendidikan ke dalam wacana ekonomi neo-liberal.

PISA menempatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama pendidikan, dengan berfokus pada kompetensi penyelesaian masalah praktis, yakni membaca, matematika, dan sains. PISA mengesampingkan seni, olahraga, ilmu sosial, budaya, dan humaniora yang diperlukan untuk mengasah empati, apresiasi, solidaritas sosial, dan sikap demokratis yang tidak terkait langsung dengan ekonomi, tetapi esensial untuk membangun masyarakat yang sehat.

Dari sisi metodologis, penentuan peserta tes siswa berusia 15 tahun – terlepas dari kelas mereka – juga dikritik. Di Indonesia, separuh sampel PISA berisi siswa kelas 9. Di kebanyakan negara lain, karena siswa memulai sekolah di usia lebih muda, sampel PISA lebih banyak kelas 10. Ini problematik kalau hasil PISA dipakai membandingkan kualitas sistem pendidikan antarnegara.

Problem metodologis lain adalah bias kultural dan ekonomi. Secara kultural, hasil evaluasi psikometrik mencatat tes literasi PISA yang ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke berbagai bahasa menciptakan perbedaan tingkat kesulitan. Bias ekonomi terjadi saat latar belakang sosial-ekonomi siswa dan GDP negara jadi prediktor kuat skor literasi. Skor PISA tidak hanya mencerminkan kualitas sistem pendidikan, tetapi kondisi ekonomi.

Pemeringkatan negara tanpa memperhatikan kondisi ekonomi menjadi disinsentif bagi negara dengan sistem pendidikan inklusif. Misalnya, negara yang menerima banyak imigran dan pengungsi seperti Jerman akan dirugikan. Demikian juga, Indonesia yang menerapkan kebijakan afirmasi melalui PPDB yang memungkinkan banyak siswa keluarga miskin untuk bersekolah.

Menyikapi hasil PISA 

Terlepas kritik terhadap PISA, kemampuan membaca, matematika dasar, dan sains adalah kompetensi penting. Jika hanya sepertiga siswa kelas 9 dan 10 yang bisa menyarikan makna dari sebuah bacaan pendek, harus diakui sistem pendidikan kita memerlukan transformasi menyeluruh.

Meski penting, skor literasi PISA bukanlah potret utuh sistem pendidikan. Skor tersebut tidak mencerminkan pembelajaran sosial-emosional, nilai-nilai (values), dan tidak menggambarkan aspek keadilan (equity). Karena itu, perlu dilengkapi indikator lain untuk mengukur keberhasilan (atau kegagalan) pendidikan.

Sebagai wakil Indonesia di Governing Board PISA, saya menyampaikan kritik dalam pertemuan di Roma, Italia, Maret 2023. Saya mengusulkan indeks yang lebih komprehensif guna memotret kualitas sistem pendidikan. Hal ini sangat mungkin dilakukan, karena PISA sebenarnya mengukur banyak hal di luar kompetensi kognitif. Misalnya, PISA mengukur wellbeing, motivasi intrinsik, strategi belajar, perundungan serta kondisi sosial-ekonomi, yang bisa digunakan untuk membandingkan skor literasi secara lebih kontekstual. Yang diperlukan adalah komitmen politik OECD untuk menggunakan data tersebut dalam pemeringkatan PISA.

Terlepas dari respons OECD, Kemendikbudristek telah mulai melakukan upaya sistemik untuk memperbaiki literasi murid. Tapi, upaya ini tidak berhenti pada literasi. Kurikulum Merdeka, misalnya, memandatkan sekitar 20% jam pelajaran untuk pendidikan karakter melalui projek penguatan Profil Pelajar Pancasila. Asesmen Nasional juga mengukur berbagai aspek karakter, termasuk akhlak pada alam dan sesama manusia, kemauan untuk bergotong royong, serta kecintaan pada keragaman. Asesmen Nasional juga dipakai untuk mengukur sekaligus mendorong pemerataan kualitas pendidikan. Pendek kata, Indonesia mengambil pelajaran dari PISA tanpa didikte olehnya.

Artikel pertama kali terbit di : mediaindonesia.com

Sumber foto : mediaindonesia.com