Kembali ke Atas

Apakah PISA Bermanfaat bagi Indonesia?

Oleh : Anita Lie

FKIP Unika Widya Mandala Surabaya

Variabel pendidikan bukanlah nilai ujian atau keterampilan, melainkan tantangan yang diselesaikan siswa dalam kehidupan.

Sejak keikutsertaan Indonesia dalam Programme for International Student Assessment atau PISA di tahun 2000, setiap tiga tahun masyarakat pendidik selalu menunggu, membaca, dan membahas hasil PISA—terutama soal peningkatan atau penurunan skor dan peringkat Indonesia.

Pengaruh PISA di tingkat internasional sudah makin kuat ketika skor dan peringkat PISA dijadikan indikator dalam kebijakan nasional di banyak negara.

Dari hasil survei tentang pengaruh PISA di 65 negara yang berpartisipasi dalam PISA 2009 (Breakspear, 2012), mayoritas negara menganggap PISA sangat berpengaruh dalam kebijakan reformasi pendidikan.

Saat itu, Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang anggota Governing Board-nya menganggap PISA tidak begitu berpengaruh dalam kebijakan reformasi pendidikan. Namun, saat ini, di Indonesia skor PISA sudah masuk sebagai target nasional, termasuk pada draf Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2024-2045 yang sedang dibahas bersama DPR.

Isu yang lebih fundamental dari peningkatan atau penurunan skor untuk dibahas adalah alasan dan dampak dari partisipasi Indonesia dalam PISA.

PISA dirancang oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD) untuk menilai kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa berusia 15 tahun (kelas 9 atau 10) dalam skala besar.

Tes ini tidak berkaitan langsung dengan mata pelajaran dalam kurikulum sekolah, tetapi merupakan tes kompetensi yang hasilnya dapat diperbandingkan secara internasional.

PISA menilai sejauh mana siswa usia 15 tahun menguasai keterampilan dan pengetahuan yang penting bagi mereka untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat modern. Penilaian PISA menitikberatkan pada keterampilan pokok dalam pembelajaran, yaitu membaca, matematika, dan sains.

Pengaruh PISA di tingkat internasional sudah makin kuat ketika skor dan peringkat PISA dijadikan indikator dalam kebijakan nasional di banyak negara.


Kritik dan justifikasi asesmen skala besar
Biaya besar untuk sampel sekitar 14.000 siswa Indonesia dibandingkan manfaatnya menjadi salah satu materi kritik terhadap partisipasi Indonesia.

Yang lebih mendasar dibandingkan kritik terhadap pembiayaan adalah ketidaksesuaian antara tujuan dan dampak dari penggunaan asesmen berskala besar seperti PISA.

Tak kurang, Gene Glass—sebagai Presiden American Educational Research Association pada 1976 dan juga pakar statistik dan psikometri yang mempromosikan asesmen dan analisis meta—juga ikut bersuara mengenai hal tersebut.

Ia kemudian menyatakan bahwa dia tidak lagi merasa nyaman diasosiasikan dengan pengukuran pendidikan—disiplin yang biasanya dilibatkan dalam penyusunan, penggunaan, dan analisis asesmen skala besar. Tulisan Gene Glass yang berjudul ”Education in Two Worlds” di blognya muncul kembali di The Washington Post pada 20 Agustus 2015.

Selama beberapa tahun berkiprah di National Assessment of Educational Progress, Gene Glass akhirnya putar balik dan menyesalkan asesmen internasional yang berujung pada tudingan salah pengelolaan sekolah oleh aktor-aktor pendidikan yang tidak kompeten.

Proses pendidikan anak terlalu kompleks untuk bisa dipotret hanya dalam beberapa jam mengerjakan soal-soal asesmen.

Perubahan paradigma Gene Glass ini tentunya sangat menarik. Saya pernah mendiskusikan isu ini dengan Mark Wilson, Profesor di UC Berkeley yang saat ini mengepalai komite asesmen sains di Dewan Riset Nasional dan pernah menjadi Presiden US National Council for Measurement in Education dan Psychometric Society.

Sebagai pakar evaluasi dan asesmen, Mark Wilson sepakat dengan Gene Glass tentang kompleksitas sistem pendidikan. Namun, ia berkeyakinan bahwa asesmen skala besar tetap dibutuhkan sebagai alat bagi kebijakan dan pembuat kebijakan untuk memperbaiki sistem pendidikan.

Asesmen skala besar di Indonesia
Setiap agenda reformasi pendidikan memerlukan sistem akuntabilitas sebagai landasan dan ukuran keberhasilan atau kegagalannya. Asesmen berskala besar sebagai instrumen akuntabilitas pendidikan telah berkembang selama bertahun-tahun di banyak tempat.

Verger dkk (2019) menyatakan bahwa banyak negara melaksanakan asesmen skala besar nasional, tidak hanya untuk diagnosis pendidikan, tetapi juga untuk akuntabilitas administratif, performatif, dan kepentingan pemangku kepentingan terhadap sekolah.

Meningkatnya penggunaan data kinerja untuk tujuan evaluatif telah berevolusi dari peran tradisionalnya sebagai verifikasi, hingga kini mendorong efisiensi dan efektivitas. Setiap asesmen mempunyai kelemahan dan membutuhkan waktu lama untuk melakukan evaluasi berkelanjutan terhadap setiap aspek asesmen itu dan memperbaiki kekurangannya.

Terlepas dari kritik terhadap PISA, Indonesia masih membutuhkan asesmen internasional sebagai rujukan sembari mengembangkan dan menyempurnakan sistem penilaiannya sendiri (Iwan Pranoto, Kompas, 26/1/2018).

Proses pendidikan anak terlalu kompleks untuk bisa dipotret hanya dalam beberapa jam mengerjakan soal-soal asesmen.

Pertanyaannya, apakah partisipasi Indonesia dalam PISA sejak tahun 2000 membawa dampak bagi perbaikan sistem pendidikan di negara ini?

Manfaat suatu asesmen bergantung pada bagaimana hasil asesmen tersebut digunakan sebagai rujukan dan basis data dalam kebijakan pendidikan.

Pakar pendidikan Eliot Eisner mengatakan, menimbang seekor sapi tidak akan membuatnya gemuk. Kritik ini ditujukan pada kesalahan penggunaan asesmen dalam reformasi sistem pendidikan.

Menimbang sapi tetap merupakan langkah yang dibutuhkan untuk memberikan data seberapa sehat sapi itu dan apa yang perlu dilakukan peternak berdasarkan data. Tentu saja dalam hal ini dibutuhkan timbangan yang baik dan akurat untuk memberikan data yang bermanfaat.

Sistem asesmen di Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan berbagai nama sejak Indonesia merdeka (Naskah Akademik, Puspendik, Balitbang Kemendikbud, 2013).

Singkat kata, Ujian Nasional (UN) mulai dilaksanakan sejak tahun pelajaran 2004/2005, yakni sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dengan penyelenggaraan UN, ada banyak polemik terkait dengan mutu soal, administrasi pelaksanaan, dan eksesnya.

Akhirnya, UN pun dihentikan pada 2021 sebagai tindak lanjut dari Episode Pertama Agenda Merdeka Belajar.

Kemudian, Asesmen Nasional (AN) dilaksanakan dengan tujuan, substansi, format, dan pelaksanaan yang berbeda.

Salah satu bagian dari AN, Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), tampaknya merespons keresahan terhadap mutu soal UN dan memasukkan soal-soal penalaran dalam literasi dan numerasi yang merujuk pada PISA. Selanjutnya, AN juga memasukkan beberapa aspek dalam Survei Lingkungan Belajar yang justru masih belum ada dalam PISA.


Pembelajaran bagi Indonesia
Bagaimana hasil Indonesia dalam PISA 2022? Bisa diprediksi bahwa kemungkinan besar akan ada penurunan skor dalam ketiga bidang asesmen.

Hal ini karena sama seperti di banyak negara lain, masa penutupan sekolah pada 2020-2022 telah menyebabkan learning loss atau kehilangan momen belajar di kalangan anak sekolah.

Jika peringkat Indonesia juga turun, berarti kehilangan ini lebih parah terjadi di Indonesia. Jika sebaliknya ada kenaikan peringkat, mitigasi penutupan sekolah selama pandemi membawa harapan baik bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih bisa terus ditingkatkan.

Hasil (skor dan peringkat) PISA perlu dibaca dan dimaknai secara cerdas. Yang lebih mendasar dalam penggunaan skor PISA sebagai salah satu target dan indikator di RPJP 2024-2045 adalah pelajaran apa yang bisa diambil dari PISA untuk mendorong percepatan kemajuan pendidikan di Indonesia.

Studi perbandingan negara-negara OECD dalam partisipasi mereka dalam PISA (Högberg & Lindgren, 2021) menunjukkan bahwa ada banyak variasi antarnegara dalam hal penerapan model akuntabilitas dan hubungan antara rezim akuntabilitas dan elemen masyarakat serta otonomi sekolah.

Hal ini menunjukkan pentingnya memandang akuntabilitas—baik melalui asesmen internasional maupun nasional—sebagai hal yang terintegrasi dalam konteks pendidikan yang lebih luas. Asesmen sekelas PISA memberikan potret global yang tidak menangkap variabel-variabel lokal dan spesifik.

Bagaimanapun, fungsi sekolah pada dasarnya bukan untuk memungkinkan siswa agar bisa mengerjakan ujian dengan baik atau bahkan berprestasi di sekolah itu sendiri.

Maka dari itu, negara seberagam Indonesia juga perlu mengembangkan sistem evaluasi pendidikan sendiri yang lebih kontekstual dan relevan.

Bagaimanapun, fungsi sekolah pada dasarnya bukan untuk memungkinkan siswa agar bisa mengerjakan ujian dengan baik atau bahkan berprestasi di sekolah itu sendiri.

Apa yang diharapkan dari sistem pendidikan adalah menyediakan kurikulum dan lingkungan belajar di sekolah yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan karakter, keterampilan, dan pengetahuan yang memungkinkan mereka menjalani kehidupan yang memuaskan secara pribadi dan produktif secara sosial.

Variabel yang sangat penting dalam pendidikan bukanlah nilai ujian atau bahkan keterampilan yang dilakukan dalam konteks sekolah, melainkan tantangan-tantangan yang dapat diselesaikan siswa dengan sukses dalam kehidupan yang mereka jalani di luar sekolah.

Untuk membantu sekolah meningkatkan mutu lingkungan belajar dalam konteks Indonesia, penerapan sistem akuntabilitas yang diukur dalam AN perlu diintegrasikan dalam implementasi kurikulum dan perbaikan mutu guru.

AN baru dilaksanakan dalam tiga tahun ini dan masih perlu terus disempurnakan dalam desain, substansi, ataupun administrasi pelaksanaan.

Belajar dari PISA dan beberapa asesmen internasional lainnya, gagasan perbaikan sistem pendidikan melalui evaluasi sistem pendidikan secara menyeluruh ini dianggap sebagai artefak yang perlu dikomunikasikan secara efektif untuk memastikan pemahaman tentang maksud mendasar dari para pelaku implementasi.

Artikel pertama kali terbit di : kompas.id
Sumber foto : kompas.id