Belajar di Rumah
Oleh Anita Lie
FKIP Unika Widya Mandala Surabaya
Pandemi Covid-19 memaksa sekolah dan perguruan tinggi beralih ke moda pemelajaran daring. Tak banyak guru dan dosen yang siap dengan peralihan ini. Ketidaksiapan pendidik bukan hanya pada kurangnya keterampilan dalam menggunakan sistem pengelolaan pemelajaran atau platformnya, melainkan juga pada kemampuan merancang dan mengelola pemelajaran dengan moda daring. Demikian pula dengan orangtua yang mesti mendampingi anak belajar di rumah.
Pepatah di mana ada krisis di situ ada peluang juga bisa terjadi di sektor pendidikan. Peralihan moda pemelajaran karena keterpaksaan situasi ini bisa membuka kesempatan transformasi proses pendidikan berupa redefinisi sentra pendidikan, esensi proses belajar, dan inovasi pemelajaran.
Redefinisi sentra pendidikan
Ki Hajar Dewantara pernah menyatakan bahwa sejatinya pendidikan dilaksanakan dalam tiga sentra yang berkaitan: rumah, sekolah, dan masyarakat. Namun, seiring dengan proses modernisasi masyarakat, kesepakatan sakral ini sudah dilanggar. Kesinambungan di antara tiga sentra pendidikan anak sudah hilang dan semua sentra saling menyalahkan atas berbagai fenomena permasalahan anak.
Orangtua mengeluh mengenai ketidakmampuan guru mendidik anak mereka. Guru merasa tidak berdaya menghadapi anak-anak dari keluarga yang tidak harmonis atau tidak mendukung nilai-nilai yang diajarkan di sekolah.
Orangtua dan guru juga merasa tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat, bahkan memandang masyarakat sebagai sentra yang tidak aman bagi anak (Lie, Kompas, 21/2/2020).
Saat ini ketika anak harus dikembalikan ke rumah karena situasi pandemik, orangtua dipanggil untuk melaksanakan tanggung jawab pendidikan yang utama. Guru memberikan materi dan penugasan melalui platform atau aplikasi sistem pengelolaan pembelajaran dengan harapan orangtua perlu terlibat mendampingi anak di rumah.
Kesinambungan di antara tiga sentra pendidikan anak sudah hilang dan semua sentra saling menyalahkan atas berbagai fenomena permasalahan anak.
Sebenarnya ada banyak sekali sumber belajar di dunia maya yang bisa diakses guru dan orangtua untuk merancang dan mengelola pemelajaran. Bagi keluarga kelas menengah dan atas, akses sumber belajar dan pendampingan seharusnya tidak menjadi masalah asalkan ada kesadaran dan komitmen orangtua untuk mau menjalankan peran sebagai mitra belajar anak.
Privilese yang tidak dimiliki keluarga dari kelas bawah tentunya menyulitkan pelaksanaan imbauan belajar di rumah. Ketiadaan akses internet, rendahnya literasi orangtua, serta ketergantungan sebagian orangtua yang harus tetap bekerja bisa menjadi hambatan serius.
Pemerintah dan lembaga-lembaga masyarakat perlu memberdayakan dan memfasilitasi keluarga, terutama dari kelas sosio-ekonomi bawah, agar bisa melaksanakan tanggung jawab mereka atas program belajar di rumah.
Esensi proses belajar
Seperti diungkapkan di media sosial, sebagian orangtua mengeluh dan kewalahan saat mendampingi anak mereka yang belajar di rumah. Seorang ibu menulis, "Ibu berubah status menjadi guru kelas, guru agama, guru bimbel, guru piket, petugas klinik, tukang masak dan penjaga kantin, petugas kebersihan dan sekaligus penjaga sekolah. Baru terasa betapa beratnya tugas seorang guru untuk anak-anak kita”.
Ibu lain dari seorang anak SD menulis, ”Ma... Ini bagaimana. Jawabanku sudah benar, kok, merah (salah). Nulis pangkat 4-nya bagaimana? Level emosi naik. Pusing, deh”.
Kepusingan orangtua dalam mendampingi anak belajar dari rumah menunjukkan ketidakterhubungan materi yang diajarkan di sekolah dengan kehidupan nyata. Di sekolah anak belajar dan kemudian diuji, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, orang mengalami ujian dan belajar dari ujian tersebut. Perbedaan mendasar itu menimbulkan pertanyaan tentang relevansi dan esensi pendidikan formal.
Keterlibatan orangtua mendampingi anak belajar dari rumah bisa menjadi kesempatan menghubungkan kembali materi pemelajaran di sekolah dengan kehidupan sehari-hari. Dengan bekal pengalaman hidup, orangtua mempunyai peluang untuk menangkap teachable moment ketika ada peristiwa atau contoh dalam kehidupan sehari-hari yang bisa menjadi bagian materi pemelajaran.
Misalnya saja, pandemik Covid-19 ini bisa menjadi materi bagi pemelajaran soal klasifikasi virus dalam biologi, statistik sebaran dan pertumbuhan eksponensial dalam matematika, beberapa pandemi sebelumnya dalam sejarah, serta harmoni iman dan pengetahuan dalam pelajaran agama.
Inovasi pembelajaran
Program belajar di rumah bisa menjadi pengungkit gerakan Merdeka Belajar yang diserukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Peralihan dari
kelas-kelas konvensional sebelum era Covid-19 menjadi pemelajaran daring menantang para pendidik keluar dari kotak sempit pendidikan formal, menjelajahi dunia maya dan nyata.
Jejaring sumber daya global yang tak terbatas menanti penjelajahan para guru dan peserta didik untuk menemukan terobosan baru yang belum terpikirkan sebelumnya. Sebagai contoh, Creative Commons (https://creativecommons.org/ about) adalah organisasi nirlaba yang membantu orang dan organisasi berbagi pengetahuan dan kreativitas untuk membangun dunia yang lebih adil, bisa diakses, dan inovatif.
Di rumah pun, orangtua bisa menemukan terobosan baru dalam inovasi pemelajaran dan berkontribusi melalui metode-metode yang sulit dilaksanakan di sekolah karena berbagai keterbatasan dan aturan. Metode pemelajaran semacam problem-based learning dan project-based learning menemukan ruang merdeka yang lebih berdaya dalam lingkungan rumah.
Program belajar di rumah bisa menjadi pengungkit gerakan Merdeka Belajar yang diserukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Bahkan, beberapa sekolah nonkonvensional di beberapa negara maju dan juga di Indonesia telah meninggalkan bangunan kelas berjajar yang dipandang seperti pabrik dan menggunakan model rumah sebagai lingkungan belajar.
Artikel pertama kali terbit di : kompas.id
Sumber foto : Mohammad Hilmi Faiq/Kompas.id