Kembali ke Atas

Implementasi Kurikulum yang Berfokus pada Siswa

Sejak pertengahan Juli 2022 lalu, sebagian sekolah mulai menerapkan Kurikulum Merdeka. Implementasi kurikulum ini hendaknya tidak dimaknai sebagai perubahan administrasi kurikulum ke dalam format baru, melainkan terutama sebagai upaya untuk mengubah pembelajaran.

Dalam beberapa kesempatan mengunjungi sekolah, penulis menjumpai euforia sekolah dan guru dalam menerapkan kurikulum paradigma baru ini. Guru-guru mulai bersemangat mempelajari esensi kurikulum, memahami capaian pembelajaran, dan menyusun dokumen yang diperlukan. Tetapi, belum banyak guru yang mengubah metode pengajaran agar lebih sesuai dengan kebutuhan siswa.

Dalam beberapa kesempatan, Iwan Syahril selaku Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan mengingatkan agar implementasi Kurikulum Merdeka jangan terjebak pada dokumen kurikulum, melainkan harus fokus pada siswa. Dinas pendidikan, sekolah, dan guru perlu memastikan bahwa transformasi pembelajaran yang menjadi esensi Kurikulum Merdeka harus terjadi hingga ke dalam kelas.

Kurikulum Merdeka menawarkan kelenturan bagi sekolah dan guru dalam mengembangkan kurikulum dan pembelajaran sesuai kekhususan dan lokalitas masing-masing. Kesempatan ini sebaiknya digunakan sekolah dan guru untuk menerapkan pembelajaran yang berfokus pada kemampuan siswa.

Pembelajaran yang berfokus pada siswa (student-centered learning) tentu bukan hal baru. Namun, selama ini guru kesulitan menerapkannya karena keterbatasan pemahaman, kecakapan, dan tuntutan ketercapaian materi yang disodorkan oleh kurikulum sebelumnya.

Salah satu karakteristik Kurikulum Merdeka adalah lebih sederhana dan fokus pada materi yang esensial, sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk memperdalam materi dan memberi kesempatan guru menaruh perhatian lebih pada kondisi dan kateristik siswa.

  

Asesmen Diagnostik dan Pembelajaran Terdiferensiasi

Terdapat setidaknya dua aspek yang perlu menjadi perhatian sekolah dan guru agar ruh Kurikulum Merdeka dapat dirasakan segera dampaknya oleh siswa, yaitu asesmen awal pembelajaran dan pembelajaran terdiferensiasi.

Jamak terjadi, guru memulai pembelajaran di awal tahun ajaran baru dengan berkomunikasi dengan orang tua dan perkenalan dengan siswa. Sayangnya, tidak banyak guru yang mencoba memahami latar belakang siswa dan kesiapan mereka dalam belajar melalui asesmen diagnostik. Padahal, latar belakang dan kemampuan awal siswa sangat menentukan keberhasilannya dalam proses belajar.

Di sisi lain, asesmen diagnostik jangan sampai dikelirukan sebagai tes kecerdasan, tes psikologis, atau tes untuk mengelompokkan siswa unggul dan memisahkannya dengan siswa rata-rata. Sebaliknya, asesmen diagnostik menjadi dasar bagi guru dalam merencanakan pembelajaran agar sesuai dengan kesiapan dan kemampuan siswa (pembelajaran terdiferensiasi).

Pembelajaran terdiferensiasi merupakan ejawantah nyata pembelajaran yang berfokus pada siswa. Para siswa seyogianya tidak lagi mendapatkan metode mengajar dan penugasan yang one size fits all meskipun belajar dalam satu kelas. Guru secara kreatif memberikan pendekatan pembelajaran yang berbeda sesuai level kecakapan siswa agar setiap siswa dapat belajar secara optimal.

Merujuk pada Taksonomi Bloom, guru dapat mengklasifikasi siswa ke dalam keterampilan berpikir tingkat rendah hingga tingkat tinggi, mulai dari mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Siswa yang tidak terbiasa dengan pelajaran dapat diminta menyelesaikan tugas pada tingkat mengingat dan memahami. Sementara siswa dengan penguasaan lebih baik diminta menerapkan dan menganalisis konten, dan siswa yang memiliki tingkat penguasaan tinggi diminta menyelesaikan tugas mengevaluasi dan mencipta.

Seperti diutarakan Tomlinson (2001) dalam How to differentiate instruction in mixed-ability classrooms, tidak ada "resep yang sama untuk semua guru" dalam mempraktikkan pembelajaran terdiferensiasi. Guru mempraktikkannya sesuai dengan kepribadian, sifat mata pelajaran, tingkat kelas yang diampu, dan profil belajar siswa mereka.

Akan tetapi, Tomlinson menggarisbawahi dua hal yang perlu dimiliki guru yang akan menerapkan pembelajaran terdiferensiasi, yaitu keyakinan bahwa siswa memiliki kebutuhan belajar yang berbeda, dan keyakinan bahwa ruang kelas yang aktif dan partisipatif akan lebih efektif dalam pembelajaran dibandingkan ruang kelas yang pasif. Keyakinan ini penting sebagai modal guru untuk memperbaiki kualitas pembelajaran.

 

Dukungan

Berharap guru melakukan asesmen diagnostik dan pembelajaran terdiferensiasi tanpa dukungan tentu merupakan harapan yang muskil. Kemendikbud telah menerbitkan beberapa panduan asesmen diagnostik yang berisi asesmen non-kognitif dan kognitif.

Asesmen non-kognitif bertujuan memahami kesejahteraan psikologis siswa, kondisi keluarga, aktivitas di rumah, pergaulan, gaya belajar, dan minat siswa. Sementara asesmen kognitif bertujuan mengidentifikasi capaian kompetensi siswa, menjadi dasar menyesuaikan pembelajaran, dan memberi perhatian lebih pada siswa yang kompetensinya di bawah rata-rata.

Pembelajaran terdiferensiasi memerlukan motivasi, kompetensi, dan waktu yang cukup sehingga tidak semua guru berminat untuk melakukannya. Oleh karena itu, dukungan terhadap implementasi Kurikulum Merdeka di daerah perlu fokus untuk menguatkan kompetensi dan motivasi guru ini.

Pertama, pemerintah daerah melalui dinas pendidikan perlu memberi perhatian khusus agar guru mendapat pelatihan dan pendampingan dalam menerapkan asesmen diagnostik dan pembelajaran terdiferensiasi. Dinas pendidikan dapat mengaktifkan komunitas belajar (seperti KKG dan MGMP) dan mendorong sekolah melakukan in-house training, agar setiap guru memiliki kesempatan peningkatan kapasitas dan pendampingan dari rekan sejawatnya.

Kedua, kepala sekolah perlu mendorong kepercayaan diri guru agar mampu memberikan layanan pembelajaran terbaik bagi siswa. Pembinaan, diskusi, dan refleksi internal seyogianya dilakukan rutin sehingga sekolah memiliki sistem yang iteratif untuk perbaikan pembelajaran.

Ketiga, peran pengawas sekolah dalam melakukan bimbingan dan pembinaan difokuskan untuk memastikan peningkatan mutu pembelajaran terjadi hingga di dalam kelas. Pengawasan terhadap implementasi Kurikulum Merdeka perlu dipahami sebagai perubahan pembelajaran di dalam kelas.

Melalui dukungan dan peran berbagai pihak di atas, diharapkan implementasi Kurikulum Merdeka tidak berhenti hanya pada pembaruan dokumen, melainkan dapat dirasakan dampaknya oleh siswa dan meningkatkan capaian belajar mereka. [Lukman Solihin, Koordinator Analisis dan Advokasi Kebijakan]