Inovasi Kurikulum Merdeka
Oleh Anita Lie
FKIP Unika Widya Mandala Surabaya
Kurikulum Merdeka perlu didukung, tetapi jangan sampai ada pengabaian terhadap anak-anak dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah dan sekolah-sekolah di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal).
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi meluncurkan Kurikulum Prototipe sebagai Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Belajar. Peluncuran pada 11 Februari 2022 dalam Agenda Merdeka Belajar Episode 15 itu dilakukan setelah melalui serangkaian kegiatan uji publik dan sosialisasi.
Tiga keunggulan yang dijanjikan dalam Kurikulum Merdeka. Pertama, fokus pada materi esensial agar ada pendalaman dan pengembangan kompetensi yang lebih bermakna dan menyenangkan.
Kedua, kemerdekaan guru mengajar sesuai dengan tahap capaian dan perkembangan pelajar dan wewenang sekolah mengembangkan dan mengelola kurikulum. Ketiga, pembelajaran melalui kegiatan proyek untuk pengembangan karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila melalui eksplorasi isu-isu aktual.
Apakah implementasi Kurikulum Merdeka akan bisa mengatasi krisis pembelajaran di Indonesia? Ada tiga faktor penting yang bisa mendorong keberhasilan Kurikulum Merdeka.
Keterkaitan guru dan kurikulum
Ada tiga model perubahan kurikulum menurut pakar kurikulum Allan Glatthorn (2015). Pertama, agenda pengembangan kapasitas guru mendahului dan menuju pada perubahan kurikulum. Kedua, pelatihan guru dilaksanakan untuk mendukung kurikulum yang baru dibuat. Ketiga, pembelajaran berbasis komunitas diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dalam pelaksanaan kurikulum baru.
Tiga pilihan model ini tentu perlu disesuaikan dengan berbagai variabel di suatu negara, terutama variabel guru.
Kurikulum Merdeka ini diluncurkan hampir 20 bulan setelah Episode 5 Program Guru Penggerak diluncurkan 3 Juli 2020 dan setahun setelah Episode 7 Program Sekolah Penggerak 5 Februari 2021.
Apakah implementasi Kurikulum Merdeka akan bisa mengatasi krisis pembelajaran di Indonesia?
Dari enam angkatan guru penggerak yang diselenggarakan, ada sekitar 32.000 guru penggerak dan calon guru penggerak serta 9.272 sekolah penggerak. Ada pula alumni Program Profesi Guru Pra-Jabatan dan Dalam-Jabatan.
Melaksanakan model pertama secara tuntas tak mungkin karena menyelesaikan pengembangan kapasitas bagi sekitar 3,3 juta guru di Indonesia akan menunda proses perubahan kurikulum, padahal urgensi penggunaan kurikulum yang memerdekakan sudah sangat kuat.
Memberi kebebasan kepada sekolah untuk memilih antara Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat (masa pandemi), dan Kurikulum Merdeka merupakan strategi cerdas sesuai dengan kapasitas setiap sekolah. Pemberian pilihan ini juga sesuai dengan roh gerakan Merdeka Belajar.
Secara ideal, pilihan yang tepat pada tingkat sekolah akan menumbuhkan rasa kepemilikan dan menentukan keberhasilan pelaksanaan kurikulum.
Di sisi lain, yang perlu diantisipasi adalah kebingungan sebagian pimpinan sekolah (terutama yang belum dapat kesempatan sebagai Sekolah Penggerak) untuk menentukan pilihan. Proses pemerdekaan secara masif membutuhkan waktu dan strategi. Selama ini, banyak aktor persekolahan sudah terperangkap dalam habitus petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) sehingga kebebasan memilih justru bisa menakutkan.
Kebingungan kepala sekolah juga seiring dengan para guru yang harus merancang, mengelola, menyampaikan, dan menilai proses pembelajaran tanpa ketentuan berapa menit per jam pelajarannya dan bagaimana pembelajaran melalui kegiatan proyek bisa dilakukan.
Demikian pula dengan efisiensi materi dan fokus pada materi esensial yang akan membuat guru kompeten bersukacita karena bisa melakukan inovasi pembelajaran dengan bebas. Namun, sebaliknya akan membingungkan sebagian guru kurang terampil yang biasanya menggunakan keluasan cakupan materi sebagai alasan ketergantungan pada hanya satu metode pengajaran—ceramah.
Tentunya kebebasan ini perlu didukung dengan peningkatan keterampilan yang sudah dipunyai oleh sebagian guru, tetapi masih belum merata.
Ketersambungan birokrasi dan aktor persekolahan
Otoritas pendidikan, terutama di tingkat daerah, diharapkan bisa bergerak tangkas dalam keterjebakan birokrasi serta mendukung sekolah dan aktor persekolahan untuk menggunakan kebebasan dalam pengelolaan kurikulum dengan tepat. Kepatuhan buta sebagian aktor persekolahan pada aparatur Dinas Pendidikan dan Yayasan Penyelenggara akan jadi faktor penghambat jika para aparatur gagal memahami visi dan tujuan Kurikulum Merdeka.
Poin penting lain adalah ketegangan antara penyeragaman dan keberagaman.
”Besarnya negara Indonesia dengan beragam konteks budaya dan lingkungan menjadi salah satu alasan utama pentingnya kontekstualisasi kurikulum di tingkat satuan pendidikan. Dalam konteks yang sangat beragam ini, kurikulum yang tersentralisasi (centralized curriculum) bukan saja tidak efektif, melainkan juga secara alami tidak dapat dilakukan” (Kajian Akademik Kurikulum untuk Pemulihan Pembelajaran, 2022).
Kepatuhan buta sebagian aktor persekolahan pada aparatur Dinas Pendidikan dan Yayasan Penyelenggara akan jadi faktor penghambat jika para aparatur gagal memahami visi dan tujuan Kurikulum Merdeka.
Gagasan kontekstualisasi kurikulum bagus untuk merawat kebermaknaan dan relevansi kurikulum untuk setiap daerah dan bahkan satuan pendidikan.
Namun, perlu ada kejernihan tentang kontekstualisasi ini. Pilihan materi esensial, strategi pembelajaran, termasuk metode dan media pembelajaran serta perancangan proyek pembelajaran bisa disesuaikan dengan konteks setiap daerah. Namun, seyogianya ada standardisasi dan ekspektasi terhadap capaian pembelajaran.
Misalnya, seorang lulusan SMA/SMK diharapkan sudah bisa mengelola dirinya sendiri, mengembangkan potensi diri untuk mencapai tujuan hidupnya dengan melanjutkan studi atau mulai berkarier, berkontribusi kepada masyarakatnya melalui kompetensinya, dan memecahkan permasalahan di sekitar kehidupannya.
Memberi ruang kepada keberagaman tanpa ketegasan ekspektasi terhadap capaian pembelajaran akan membuat kesenjangan prestasi pelajar makin tajam. Anak-anak dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di bawah kepala daerah yang kurang peduli akan makin terpinggirkan.