Kegagapan dan Pendidikan
Kita pernah dan tengah
mengalami titik lejit (tipping point).
Titik ini adalah waktu di mana ide-ide disruptif muncul dan menyebar, terutama seputar
teknologi baru, di masyarakat dengan budaya arus utama yang mapan. Salah satu
manifestasi dari lejitan itu adalah Revolusi Industri.
Di dalam The Fourth Industrial Revolution (2017),
Schwab memaparkan ada tiga tahapan letupan industri di dalam sejarah. Jika
diamati secara saksama, perubahan cepat ini merupakan perubahan linier yang
evolutif. Sebelum letupan-letupan itu terjadi, manusia sudah mengalami
perubahan pola hidup dari berburu dan nomaden ke pola menetap dan bertani.
Perubahan ini, salah satunya, berkat berhasilnya manusia melakukan
domestifikasi hewan. Bersama dengan tenaga hewan ini, manusia melakukan upaya
produksi, transportasi, dan komunikasi. Revolusi Agraria pun bergulir pada
sekitar sepuluh ribu tahun yang lalu. Revolusi ini diikuti oleh serangkaian
revolusi industri yang dimulai pada paruh kedua abad ke-18. Peralihan revolusi agraria
ke industri ditandai oleh digantinya sebagian tenaga manual manusia dengan kekuatan
alat-alat mekanis.
Revolusi Industri pertama
terjadi sekitar 1760 hingga 1840-an. Pembangunan jaringan rel kereta api dan
penemuan mesin uap--yang menjadi penting dalam memulai proses produksi massal
secara mekanis--menginisiasi revolusi industri tahap awal ini. Tahapan kedua
mulai terjadi di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ditandai dengan
dimungkinnya produksi massal yang efektif berkat pengembangan tenaga listrik
dan penemuan garis-pemasangan (assembly
line) yang memudahkan proses produksi. Revolusi Industri ke-3 terjadi pada
1960-an. Kita mungkin mengenalnya dengan istilah yang lebih populer: revolusi
digital. Proses ini dikatalisasi oleh perkembangan yang saling mendukung dan
berkelanjutan dimulai dari semikonduktor, komputer mainframe, hingga komputer personal dan internet.
Kini masyarakat global
diyakini tengah menjalani tahapan Revolusi Industri ke-4. Berkembang pesatnya internet
bergerak (mobile internet), kecerdasan
buatan, dan rekayasa genetika menghasilkan otomatisasi dalam dunia industri.
Tak hanya berimbas pada perubahan pola produksi yang menyebabkan lapangan
pekerjaan menjadi menyusut, cara masyarakat mengonsumsi barang dan jasa pun
berubah. Berbagai toko dan aplikasi jasa transportasi dalam-jaringan memberikan
banyak kemudahan dan efisiensi hanya dengan sekali klik.
Schawb percaya
bahwa Revolusi Industri ke-4 ini memiliki potensi untuk memberi manfaat yang
luas bagi masyarakat. Namun, menurut Schawb ada hal elementer yang menghambat
potensi-potensi besar itu direalisasikan. Pertama, pemahaman manajerial para
pengambil keputusan terhadap arah perkembangan revolusi industri ini yang masih
kurang. Pemahaman ini menjadi teramat krusial karena para pemangku kepentingan dan
masyarakat harus benar-benar dipersiapkan untuk menyambut era di mana pola dan
nilai lama digantikan secara signifikan dengan pembaruan berbasis teknologi
disruptif. Kedua, ada pandangan yang tidak konsisten dan kurangnya pemahaman
positif tentang manfaat dan kesempatan baru yang terbuka karena proses revolusi
industri.
Kegagapan
Jika kita sepakat
teknologi adalah salah satu, jika bukan satu-satunya, pendorong peradaban
manusia, maka kecepatannya akan selalu mendahului daya adaptasi manusia secara
umum. Dengan begitu, celah yang menganga di antara perkembangan teknologi dan
masyarakat akan selalu ada. Titik lejit menjadi
bagian yang niscaya di dalam masyarakat.
Ide disruptif memang
selalu bersifat mendahului zamannya. Ia lebih cepat daripada kegesitan manusia
beradaptasi. Celah yang menganga di antara persebaran ide dan adaptasi akibat
perubahan signifikan itu adalah keniscayaan. Oleh karenanya, titik lejit akan selalu
dibarengi hal lain: kegagapan (stuttering).
Kegagapan ini dapat berupa respon reaktif dan tertutup terhadap perubahan. Jika
kita sadar akan hal ini, maka kita akan mafhum bila para pengemudi ojek
konvensional berseteru dengan rekannya yang memilih mengais rejeki melalui
aplikasi daring, pengusaha hotel yang mengeluhkan penurunan okupansi akibat
digerus AirBnB, atau ketika toko fisik menjadi sepi dan toko maya semakin
sering dikunjungi.
Namun,
pada batas tertentu, kegagapan ini tidak perlu dikhawatirkan secara
berlebihan. Kegagapan adalah prakondisi
menuju kemajuan. Pertanyaannya sekarang, bagaimana mempersiapkan masyarakat
yang akan selalu "terbelakang" agar mampu menerima dan beradaptasi lebih cepat
dengan perubahan? Salah satu jawabannya adalah melalui pendidikan.
Pedagogi
Kreatif
Kita sadar beragam pekerjaan
nantinya akan hilang dengan adanya otomatisasi dan digitalisasi produksi barang
dan jasa secara penuh. Orang-orang yang hanya dididik untuk memiliki
keterampilan teknis akan kalah bersaing dengan mesin yang disokong kecerdasan
buatan. Dengan situasi seperti ini, pendidikan formal dituntut untuk berubah.
Ia tidak boleh dirancang sekadar untuk menciptakan manusia yang berkompetisi
dengan mesin cerdas.
Parag Diwan, penganjur
keselarasan kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi, menawarkan
konsep pedagogi 5i, yang saya terjemahkan secara bebas sebagai tahapan
internalisasi-iterasi-interpretasi-interes-inovasi. Pertama, pendidikan
ditekankan pada kegiatan internalisasi konsep-konsep dasar pengetahuan. Dari
penguasaan konsep pengetahuan dasar itu, peserta didik diarahkan untuk
mempraktikkan secara berulang (iterasi) keahlian-keahlian fundamental dari pengembangan
konsep yang dilakukan secara ketat. Kemudian tahap ketiga, menginterpretasi
hasil dari praktik tadi dan mencoba mengimplementasikannya di situasi-situasi
yang diubah secara adaptif. Tahap keempat, peserta didik diarahkan untuk
mengembangkan interes dan kuriositas terhadap subyek tertentu untuk menggali
dan mencipta pengetahuan. Konsep orisinal dan ide baru yang dihasilkan dari
daya pikir yang berbeda merupakan tahapan terakhir dari kerangka pedagogi ini.
Keluarannya adalah insan yang memiliki kemampuan inovasi yang tinggi.
Konsep ini dapat dilihat
sebagai varian dan implementasi kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kerangka
pedagogi ini diharapkan mampu menjawab tantangan di era Revolusi Industri ke-4
dengan menghasilkan individu-individu yang kreatif dan inovatif. Merekalah yang
akan berdiri mengatasi eksistensi mesin cerdas.
Kegagapan memang tidak akan hilang meski publik dibekali pendidikan berbasis pendidikan kreatif. Namun, jika usaha itu dilakukan kita akan menghadapi proses kegagapan secara produktif, tidak reaktif.
Artikel ini merupakan bagian dari buku Penguatan Pelaku Kebudayaan dalam Mendukung Kualitas SDM (2019) yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di mana terdapat penyesuaian isi artikel dari versi sebelumnya.