Kembali ke Atas

Menuju Keterampilan Fondasional Universal

Oleh Irsyad Zamjani
Kepala Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan 

Penguatan literasi dan numerasi sebagai keterampilan fondasional telah menjadi fokus kebijakan pendidikan, tetapi kurang ambisius. Ini harus diperkuat dengan menjadikan PAUD sebagai agenda prioritas nasional.

Sepanjang 2023, kelompok kerja pendidikan G20 di bawah presidensi India membahas empat agenda pendidikan global: penguatan literasi dan numerasi sebagai keterampilan fondasional, pembelajaran berbasis teknologi yang lebih inklusif dan berkualitas, penguatan belajar sepanjang hayat untuk mengantisipasi masa depan pekerjaan, dan penguatan riset dan inovasi melalui kolaborasi.

Tema pertama, penguatan literasi dan numerasi sebagai keterampilan fondasional, menjadi topik yang dibahas dalam pertemuan keempat atau terakhir dari kelompok kerja pendidikan G20 tahun ini. Berlangsung pada 19-22 Juni 2023 di Pune, Maharashtra, India, pertemuan ini secara khusus didahului oleh seminar bertema sama di mana penulis berkesempatan menjadi salah satu panelisnya dan dipungkasi dengan pertemuan para menteri pendidikan G20. Hal yang menandai derajat urgensi dari isu ini.

Mengacu kepada UNESCO, berbeda dari sekadar literasi fungsional, literasi adalah kemampuan mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, menciptakan, dan mengomunikasikan bahan-bahan tertulis yang terkait dengan beragam konteks. Sementara numerasi adalah kemampuan melakukan perhitungan aritmetika sederhana dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Penguatan literasi dan numerasi ini penting bukan hanya karena menjadi fondasi yang membuka pintu menguasai berbagai keterampilan, melainkan juga karena merupakan sumber kesenjangan di kalangan anggota G20. Data yang dihimpun dalam laporan kelompok kerja ini menunjukkan kesenjangan proporsi siswa di negara-negara maju dan berkembang dari anggota G20 yang mencapai kemampuan minimum dalam berbagai tes literasi dan numerasi.

Proporsi siswa yang mencapai kompetensi minimum di negara-negara seperti Australia sebesar 94 persen, Amerika Serikat 95 persen, Kanada 96 persen, dan Inggris 97 persen. Bahkan, di dua raksasa ekonomi Asia, Korea Selatan dan Jepang, proporsi masing-masing mencapai 99 persen.

Potret yang kontras terlihat di negara-negara berkembang. Proporsi siswa yang mencapai kompetensi minimum di Brasil sebesar 61 persen, di Argentina 54 persen, dan di Indonesia 50 persen. Di India angkanya lebih rendah lagi, 39 persen. Afrika Selatan menjadi yang paling rendah, yaitu 19 persen.

Hal tersebut membawa pesan yang jelas bahwa kemampuan fondasional ini berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan. Anak-anak yang memiliki keterampilan dasar ini memiliki kesempatan lebih besar untuk belajar berbagai keterampilan baru yang dibutuhkan untuk hidup lebih baik.

India merupakan salah satu negara dengan target yang cukup ambisius untuk mengatasi ketertinggalan dalam kemampuan literasi dan numerasi ini. Pemimpin G20 tahun 2023 tersebut memperkenalkan program bernama National Initiative for Proficiency in Reading with Understanding and Numeracy (NIPUN).

Menjadi bagian dari National Education Policy 2020, program ini menyasar anak usia 3-9 tahun (3 tahun prasekolah hingga kelas 3 SD) dan menargetkan penguasaan kemampuan literasi dan numerasi secara universal pada tahun ajaran 2026/2027. Cakupan usia ini juga menunjukkan kesadaran akan pentingnya jenjang usia dini bagi perkembangan jangka panjang anak dan dampaknya dalam memutus kesenjangan lintas generasi (Unicef, 2020).

India merupakan salah satu negara dengan target yang cukup ambisius untuk mengatasi ketertinggalan dalam kemampuan literasi dan numerasi ini.

Salah satu upaya untuk mewujudkan hal ini adalah dengan mengintegrasikan penggunaan bahasa ibu dalam pembelajaran. India adalah rumah bagi lebih 1.700 bahasa lokal atau lebih dari dua kali lipat jumlah bahasa daerah di Indonesia. Disesuaikan dengan kebutuhan anak usia 3-8 tahun, India mengembangkan materi pembelajaran berbasis permainan bernama ”Jaadui Pitara” yang tersedia dalam 13 bahasa lokal utama.

Sumber belajar ini juga disediakan dalam beragam bentuk seperti mainan, game, teka-teki, boneka, poster, flashcards, kartu cerita, panduan, dan buku pegangan guru. Inisiatif-inisiatif lain, seperti pemenuhan nutrisi dan peningkatan keterampilan pedagogik guru, juga berjalan seiring. Seluruh inisiatif itu adalah upaya mewujudkan bukan hanya akses pendidikan universal, tetapi terutama penguasaan keterampilan fondasional universal.

Urgensi PAUD

Penguatan literasi dan numerasi sebagai keterampilan fondasional telah menjadi fokus kebijakan pendidikan Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Revisi standar kompetensi lulusan yang tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 5 Tahun 2022 secara eksplisit menyebutkan kedua kompetensi tersebut sebagai salah satu capaian utama pembelajaran.

Kompetensi literasi dan numerasi ini diajarkan secara kontekstual melalui Kurikulum Merdeka, dipantau pencapaiannya melalui Asesmen Nasional dan dilaporkan hasilnya kepada sekolah dan pemda melalui platform Rapor Pendidikan. Target pencapaian literasi dan numerasi ini juga telah dituangkan secara eksplisit dalam dokumen RPJMN 2020-2024.

Namun, aspek krusial di mana Indonesia terlihat kurang ambisius dibandingkan India adalah dari mana semua upaya ini dimulai. Ekosistem politik kebijakan Indonesia lebih memprioritaskan pendidikan menengah universal dibandingkan pendidikan anak usia dini (PAUD). Padahal, data BPS terakhir menunjukkan partisipasi PAUD (usia 3-6 tahun) masih tertahan pada angka 35 persen.

Dalam draf RUU Sisdiknas inisiatif pemerintah tahun lalu, usulan wajib belajar mulai jenjang prasekolah sebenarnya telah digulirkan. Namun, proposal ini tampaknya kurang memiliki resonansi politik yang kuat.

Fokus pada upaya memperkuat partisipasi pendidikan menengah ke atas menjadi cara yang lebih cepat untuk menyiapkan transisi ke dunia kerja yang diharapkan dapat mengakselerasi produktivitas ekonomi. Namun, selain investasi yang lebih mahal, pilihan ini juga kurang efektif mengatasi krisis kemampuan fondasional yang memiliki efek jangka panjang, termasuk terhadap produktivitas ekonomi itu sendiri.

Studi internasional menunjukkan partisipasi pada PAUD berkorelasi dengan peningkatan skor PISA (Dini & Soemarjono, 2020), kecenderungan lama sekolah, dan perolehan pekerjaan berketerampilan tinggi (Shafiq dkk, 2018).

Data yang dihimpun UNESCO Institute for Statistics (2022) juga menunjukkan negara-negara berpenghasilan tinggi memiliki proporsi alokasi untuk PAUD terhadap total anggaran pendidikan paling tinggi (8,7 persen) dibandingkan kelompok negara lainnya. Proporsi anggaran PAUD di negara-negara berpenghasilan menengah atas sebesar 7,7 persen, berpenghasilan menengah bawah 6,5 persen, dan berpenghasilan rendah 2 persen.

Sekarang tinggal bagaimana mendorong peningkatan partisipasi prasekolah ini menjadi agenda prioritas nasional.

Pada dasarnya, formula yang digunakan oleh pemerintah dalam menanamkan kemampuan fondasional sejak usia dini sudah sesuai standar internasional. Pemerintah, misalnya, telah melarang pendekatan drilling dalam pembelajaran literasi pada PAUD dan mengenalkan kecintaan pada literasi melalui permainan dan materi bacaan berjenjang. Selain itu, keberadaan ruang literasi pada satuan PAUD juga menjadi kriteria minimal standar sarana dan prasarana (Permendikbudristek Nomor 22 Tahun 2023).

Sekarang tinggal bagaimana mendorong peningkatan partisipasi prasekolah ini menjadi agenda prioritas nasional. Hal ini penting untuk memastikan saat masuk SD anak-anak memiliki kesiapan sekolah yang lebih baik sehingga SD tidak hanya menjadi tujuan pencapaian akses pendidikan universal, tetapi juga keterampilan fondasional universal. Tahun politik mungkin menjadi momentum yang tepat untuk mengingatkan kembali urgensi isu ini.

Artikel ini pertama kali terbit di: kompas.id
Sumber foto: Kompas.id