Merdeka Belajar sebagai Malin Kundang
Ketika berbicara dalam seminar "Koalisi #2: Membangun
Pendidikan yang Berpihak" yang ditaja Sokola Institute pada 7-29 November 2020
lalu, saya mengajukan pertanyaan kepada peserta: dapatkah sistem pendidikan saat
ini menghasilkan agen perubahan, alih-alih hanya mereproduksi ketimpangan
sosial?
Pertanyaan ini muncul sebagai alternatif untuk keluar dari kecenderungan
patah harapan bahwa pendidikan yang ada saat ini belum ideal dan kontekstual.
Sebagian kalangan memang menganggap bahwa pendidikan alih-alih dapat
menyelesaikan persoalan suatu komunitas, justru ia dianggap sebagai sumber
masalah itu sendiri.
Dalam buku Melawan Setan Bermata Runcing, rekan-rekan
di Sokola Institute secara terang menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang ada
bagi masyarakat adat kerap tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah terdekat
mereka. Sebaliknya, sekolahlah yang memicu anak-anak muda pergi dari lingkungan
dan akar kebudayaannya.
Terus terang, mengisi seminar yang diselenggarakan Sokola
Institute, lembaga yang hampir delapan belas tahun mendedikasikan kerja bagi
pendidikan masyarakat adat dan kalangan marginal, saya tidak dapat menampik
benturan perspektif ketika memandang tujuan, pelaksanaan, dan capaian
pendidikan yang diharapkan.
Sebagai kerani pemerintah, tak pelak saya berada dalam
posisi ambigu: untuk sebagian saya sepakat dengan cara pandang dan praktik yang
dikembangkan Sokola, namun saya pun cukup memahami "mengapa" pemerintah mengambil
kebijakan di bidang pendidikan sedemikian rupa sehingga bagi sementara kalangan
justru dianggap membelenggu, mencipta jalan buntu.
Dalam kebimbangan itu, saya mendapat titik terang untuk
keluar dari kemelut pertanyaan tadi melalui sejarah panjang para pendiri bangsa
yang dididik dengan sistem kolonial, tetapi justru menjadikan pengetahuan dan kecakapan
yang mereka miliki sebagai amunisi ampuh untuk menyerang balik.
Tulisan ini tidak untuk menjelaskan mengapa pendidikan kita
saat ini belum ideal, melainkan untuk melihat kemungkinan bahwa dalam sistem
pendidikan yang begitu adanya itu tetap ada secercah harapan untuk membentuk
agen perubahan.
Pengetahuan untuk Melawan
Sejarawan seperti Hilmar Farid dan Doris Jedamski secara
lugas menilai Politik Etis dan Balai Pustaka sebagai bentuk wadak dari praktik
penjajahan pikiran di era kolonial. Artinya, di samping represi secara sosial,
ekonomi, dan politik, penjajahan juga melalui jalur kebudayaan: bagaimana
paradigma dan sikap suatu bangsa dibentuk agar membebek alur pikir penjajahnya.
Pengetahuan dan paradigma Barat, logika ilmiah, bahasa, juga
standar sastra, dibentuk sedemikian rupa agar masyarakat jajahan dapat
segendang-sepenarian dengan agenda pemerintah kolonial. Efeknya bisa panjang
dan mewujud sebagai sindrom poskolonial. Karya sastra bikinan Balai Pustaka,
untuk sekadar contoh, dalam kurun waktu dan ukuran tertentu masih membayangi
diskursus mengenai kapan sastra Indonesia dimulai, mencapai tonggak
monumentalnya, dan memengaruhi selera sebagian pembaca di Indonesia hingga kini.
Tetapi di sisi lain, kita pun tahu bahwa penjajahan di ranah
budaya ini justru menjadi pintu mengecap pendidikan Barat sehingga melahirkan para
"Malin Kundang" yang alih-alih patuh menjadi pegawai kolonial, malahan justru
menjadi lawan tanding paling tangguh. Para pendiri bangsa sejak fajar
kebangkitan nasional, tokoh-tokoh di sekitar Sumpah Pemuda, hingga para
penyusun dasar negara dan naskah Proklamasi, adalah para pemuda dan pemudi yang
mengenyam pendidikan kolonial. Berbekal ilmu pengetahuan yang dimiliki, mereka
berupaya memahami bagaimana kolonialisme diterapkan dan melalui cara apa ia
bisa dilawan.
Ketika menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Teknik Bandung,
Soekarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia bercerita,
seminggu sebelum dirinya mendapa gelar insinyur, dia mempersoalkan isu
"penjajahan pikiran" itu dengan rektor Sekolah Tinggi Teknik Bandung, Prof. Ir.
G. Klopper M.E. Bung Besar bertanya, mengapa pribumi seperti dirinya dikenalkan
pengetahuan yang hanya berguna untuk mengekalkan dominasi kolonial?
Prof. Klopper tak menampik bahwa pendidikan di Hindia
Belanda ditujukan untuk memajukan politik Den Haag. Supaya dapat mengikuti
kecepatan ekspansi dan eksploitasi ekonomi kolonial, pemerintah Belanda merasa
perlu mendidik lebih banyak insinyur yang berpengalaman di tanah jajahan. Terang
sekali jawaban itu bagi Soekarno sehingga ia mantap menggunakan daya dan
pengetahuannya justru untuk melawan kolonialisme.
"Dan begitulah, sekalipun aku harus mempersembahkan seluruh
hidupku untuk menghancurkan kekuasaan kolonial, rupanya aku harus berterima
kasih pula kepada mereka atas pendidikan yang kuterima," demikian Soekarno.
Soekarno tetap merasa perlu berterima kasih, tetapi dalam kenyataannya dialah "Malin
Kundang" yang menolak patuh pada penindasan akal budi yang berlangsung dalam
sistem pendidikan kolonial. Dan dia tak sendiri. Sehimpunan pemuda dan pemudi
lainnya juga sedang tumbuh merengkuh fajar nasionalisme.
Kebebasan Berpikir dan Berhimpun dalam Pergerakan
Lantas bagaimana Soekarno dapat keluar dari tempurung sistem
pendidikan kolonial? Mungkin dua hal berikut ini dapat dipertimbangkan sebagai
jawaban, meskipun masih bersifat hipotetis.
Pertama, sistem pendidikan kolonial walaupun dipraktikkan
dengan segregasi sosial yang ketat, di mana sekolah hanya diperuntukkan bagi
kalangan dan garis darah tertentu, menerapkan prinsip liberal arts dalam
arti luas. Kebebasan berpikir, berdiskusi, menjadi bagian dari upaya memuliakan
ilmu pengetahuan. Bertanya, mengkritik, dan mencari sumber informasi yang
menjadi tradisi dalam sistem pendidikan dapat membentuk pribadi-pribadi yang
haus pengetahuan.
Awal abad ke-20, di mana Politik Etis dimulai, dibuka lebih
banyak sekolah-sekolah ala Eropa seperti HIS, MULO, dan AMS sehingga melahirkan
lebih banyak kalangan terdidik dari kalangan pribumi rendahan. Sekolah-sekolah
ini mengadopsi sistem pendidikan Belanda, begitu pun pengajarnya sebagian besar
dari kalangan Eropa. Sistem pendidikan inilah yang kemudian melahirkan apa yang
oleh Abdul Rivai sohor disebut sebagai "bangsawan pikiran", yakni kalangan
elite nasional yang mampu tampil berkat pengetahuan dan pencapaiannya, bukan
berdasarkan garis silsilahnya.
Berdasarkan kecakapan dan akses bacaan yang cukup, kalangan
terpelajar ini juga itu membaca banyak karya sastra, termasuk yang
mengguncangkan istana ratu Wilhelmina: Max Havelaar. Novel karangan
Multatuli ini telah memantik rasa malu Pemerintah Belanda sehingga terpaksa
menerapkan Politik Etis. Karya yang oleh Pramoedya Ananta Toer dijuluki sebagai
The Book That Killed Colonialism ini telah membuka mata banyak kaum
terpelajar untuk melawan penindasan.
Dalam konteks yang pertama ini dapat dikatakan, pendidikan
telah melahirkan insan-insan yang tidak hanya kritis, tetapi mampu menyusun penjelasan
dan perlawanan yang diperlukan. Pidato Soekarno, Indonesia Menggugat, di
muka pengadilan Belanda yang sarat data dan argumen menunjukkan kecemerlangan
hasil pendidikan itu.
Kedua, kaum terpelajar yang didik dengan cara Eropa
ini tak lupa tanggung jawab yang mereka pikul sebagai elite baru bagi
bangsanya. Mereka bukankah anak-anak sekolahan yang selepas belajar di kelas
lantas pulang, menonton bioskop, atau ambil perlop untuk leha-leha di pantai. Pendidikan
juga memungkinkan mereka membangun jaringan dan membentuk komunitas yang lebih
luas.
Persinggungan anak-anak sekolahan ini dengan organisasi seperti
Boedi Oetomo, Sarekat Islam, atau Indisce Partij--untuk menyebut
beberapa--memungkinkan mereka untuk memahami persoalan bangsa lebih jauh.
Apalagi, sebagian kaum terpelajar ini adalah juga para penulis, wartawan,
bahkan pendiri beberapa penerbitan. Komunitas, pergerakan, serta percakapan
tertulis melalui media memungkinkan mereka membayangkan musuh bersama bernama
kolonialisme dan merajut ikatan dalam satu kesatuan nasional (Imagined
Communities kata Ben Anderson).
Kembali ke pertanyaan tadi, dapatkah sistem pendidikan saat
ini menghasilkan agen perubahan?
Jawabannya terletak pada apakah sistem pendidikan kita sudah mampu menyemai dan merayakan nalar kritis atau justru membungkamnya, dan apakah peserta didiknya memiliki cukup waktu dan komitmen untuk memikirkan persoalan komunitas dan masalah bangsanya. Soekarno dan kawan-kawan membuktikan bahwa sistem pendidikan kolonial bukan jalan buntu untuk melawan ketidakadilan, justru sebaliknya ia menjadi alat melawan penindasan. [LS]
Sumber: foto pribadi.