Kembali ke Atas

Pedagogi Kolaborasi dan Solidaritas

Oleh Anita Lie
FKIP Unika Widya Mandala Surabaya


Pandemi membawa kesadaran baru tentang ancaman bencana kemanusiaan dan harapan terhadapan pendidikan untuk menata ulang peta jalan menuju masa depan lebih baik. Perlu kembangkan pedagogi kolaborasi dan solidaritas.

Pandemi Covid-19 selama 2,5 tahun telah menunjukkan kerapuhan sekaligus keterkaitan umat manusia. Momentum pandemi membawa kesadaran baru tentang ancaman bencana kemanusiaan di masa depan dan harapan terhadap pendidikan untuk menata ulang peta jalan menuju masa depan yang lebih baik.

Ketika negara-negara sedang berjuang memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 2030, UNESCO menawarkan Visi Pendidikan 2050 dalam dokumen ”Reimagining Our Futures Together: A New Social Contract for Education” (2021) dan mengajak kita semua untuk memikirkan kembali pendidikan dan menciptakan bentuk masyarakat di masa depan yang kita impikan (Ismunandar, Kompas, 29 Januari 2022).

Dokumen UNESCO yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini mengingatkan bahwa umat manusia, sampai dengan saat ini, hanya mempunyai satu planet sebagai rumah bersama. Sayangnya, sumber daya di planet Bumi ini tidak digunakan secara baik, adil, dan bertanggung jawab sehingga muncul ketidaksetaraan di berbagai wilayah di dunia, pelanggaran hak asasi manusia, dan kerusakan alam, termasuk pemanasan global.

Dokumen UNESCO yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini mengingatkan bahwa umat manusia, sampai dengan saat ini, hanya mempunyai satu planet sebagai rumah bersama.

Pada 2050, penduduk Bumi diperkirakan mencapai 9,7 miliar orang. Jika tidak ada upaya strategis dan sistematis untuk mengendalikan eksploitasi Bumi, bencana kemanusiaan akan menjadi tidak terkendali: badai, banjir, kekeringan, kelaparan, polusi emisi karbon yang mematikan, penyakit-penyakit baru, migrasi tak terkendali, dan perang.

Sebagian pembaca artikel ini mungkin akan masih hidup dan menghadapi ancaman itu di masa depan. Pada 2050, anak-anak yang berusia SD dan SMP saat ini harus mengalami penderitaan bencana Bumi pada saat mereka baru pada kisaran 35-45 tahun. Jadi, bagaimana?

Manusia dikaruniai akal budi untuk mendayagunakan segala kapasitasnya untuk mencegah malapetaka terjadi pada anak-cucu dan membangun masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan. Pendidikan adalah salah satu jalan utama untuk menghentikan tindakan-tindakan destruktif terhadap sesama dan alam semesta serta menumbuhkan kepedulian dan tekad demi kebaikan bersama melalui pedagogi kolaborasi dan solidaritas.


Harapan dan kontrak sosial baru

Masih ada harapan untuk mengubah dunia dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi anak-cucu. Kita membutuhkan suatu kontrak sosial baru untuk pendidikan yang dapat menghentikan ketidakadilan sekaligus juga mentransformasi masa depan.

Kontrak sosial baru ini harus menghargai hak asasi manusia dan menghormati prinsip-prinsip nondiskriminatif, berkeadilan sosial, hormat terhadap kehidupan, martabat manusia, dan keberagaman budaya. Prinsip tersebut juga harus mencakup etika kepedulian dan solidaritas. Kontrak ini juga harus memperkuat pendidikan sebagai upaya pemerintah dan masyarakat untuk kebaikan bersama (bonum commune).

Membayangkan kembali dan mentransformasi masa depan bersama membutuhkan kapasitas umat manusia untuk bekerja sama dan peduli terhadap kebaikan bersama.

Dalam kontrak sosial baru untuk pendidikan, pedagogi harus berakar pada kolaborasi dan solidaritas, membangun kapasitas pelajar dan guru untuk bekerja sama dalam satu tekad untuk mengubah dunia. Bagaimana anak belajar ditentukan oleh mengapa dan apa yang mereka pelajari. Komitmen dasar untuk mengajar dan memajukan hak asasi manusia berarti bahwa guru harus menghormati hak-hak pelajar. 

Pendidik perlu menciptakan kesempatan bagi orang untuk belajar dari satu sama lain dan menghargai satu sama lain pada semua garis perbedaan, baik jender, agama, ras, budaya, kelas sosial, maupun disabilitas.

Menghormati martabat orang berarti tidak memaksakan kehendak pada sesama manusia. Mengajarkan nilai-nilai kebaikan suatu agama tidak sama dengan memaksakan atribut agama tersebut pada pelajar yang berbeda.

Secara psikologis, memang manusia merasa nyaman berada dalam lingkungan yang familiar (sama). Namun, secara pedagogis, akal budi manusia akan ditantang untuk bertumbuh secara optimal dalam lingkungan yang kaya dengan keberagaman. Belajar dari alam semesta yang bertumbuh berdasarkan prinsip bio-diversitas, ekosistem kehidupan akan berkelanjutan jika elemen yang berbeda saling menghargai dan melengkapi.


Implementasi pedagogi kolaborasi dan solidaritas

Pedagogi kolaborasi dan solidaritas membutuhkan pembelajaran partisipatif, kooperatif, penyelesaian masalah, multidisipliner, antargenerasi, dan antarbudaya yang dibingkai oleh tujuan menciptakan kebaikan bersama.

Pembelajaran dalam pedagogi kolaborasi menggabungkan pengetahuan konseptual dengan prosedural serta—dalam bahasa Ki Hajar Dewantara: pengolahan daya pikir, daya rasa, daya karsa, dan daya raga—untuk menumbuhkan pengetahuan dan menerjemahkan pengetahuan tersebut ke dalam tindakan nyata.

Praktik pedagogis didasarkan pada refleksi atas pengalaman dan penggalian pengetahuan yang semua perlu terus-menerus disusun kembali ke dalam realitas masa kini dan mimpi masa depan. Motivator pembelajaran yang kuat adalah autentisitas (memahami hubungan antara apa yang dipelajari dan dunia para pelajar) dan relevansi (memahami hubungan antara apa yang dipelajari dengan kebutuhan dan nilai-nilai).

Pembelajaran berbasis proyek dan masalah memberikan banyak peluang untuk pembelajaran yang autentik dan relevan serta memanfaatkan minat intrinsik kita untuk mengetahui dan memahami.

Ada cukup banyak contoh kebangkitan kesadaran dan rintisan kontrak sosial baru dalam dunia pendidikan di seluruh Tanah Air. Salah satunya, tulisan para pelajar dan guru yang dikumpulkan oleh Karuningtyas Rejeki, Zita Wahyu Larasati, dan Ibe Karyanto dalam Perubahan Itu Nyata: Buku Praktik Baik Pendidikan Kontekstual. Refleksi para pelajar dan guru SMP, SMA, dan SMK ini memberikan harapan segar terhadap pendidikan di Indonesia.

Praktik pedagogis didasarkan pada refleksi atas pengalaman dan penggalian pengetahuan yang semua perlu terus-menerus disusun kembali ke dalam realitas masa kini dan mimpi masa depan.

Berbagai kisah yang mengungkapkan pengalaman dan refleksi mereka dalam pelaksanaan pembelajaran kontekstual berbasis proyek merupakan catatan praktik baik proses pembelajaran yang dalam kata-kata salah seorang siswa penulis dari SMPN 2 Jenawi, Karanganyar, Marsya Agustina Atika Sari, ”lebih menyenangkan daripada pembelajaran reguler atau konvensional”.

Proses pembelajaran menjadi menyenangkan karena para pelajar terlibat secara autentik dan otonom mulai dari perencanaan kegiatan, pelaksanaan, hingga refleksi mereka. Belajar dari alam semesta, mengamati peristiwa budaya seperti Nyadran dan Suroan serta mengelola dinamika kelompok karena perbedaan kepribadian dan tingkat motivasi sudah memampukan para pelajar untuk bertumbuh.

Selain itu, hasil dari pembelajaran kontekstual berbasis proyek juga bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya, pupuk organik yang dibuat para pelajar dari sampah dapur dan sampah pertanian.

Pengalaman belajar ini tentu akan jadi bekal para pelajar untuk menghadapi kehidupan pada 2050 ketika mereka menjadi pemimpin bangsa dan dunia pada usia 40-an tahun dan untuk mengubah gerak peradaban masa kini agar apa yang dikhawatirkan akan menjadi bencana pada era itu bisa dihindari.

Artikel pertama kali terbit di : kompas.id

Sumber foto : Didie SW/Kompas.id