Pembelajaran di Masa Kelaziman Baru
Permulaan masa pembelajaran di
sekolah tahun ini benar-benar terasa lebih istimewa karena kita lalui dalam
masa pandemi COVID-19. Sebelumnya, melalui Surat Keputusan Bersama Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam
Negeri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Tahun Ajaran dan Tahun
Akademik Baru di Masa Pandemi COVID-19, pemerintah mengumumkan bahwa
pembelajaran tatap muka pada tahun ajaran baru 2020/2021 hanya dapat dilakukan
pada satuan pendidikan di zona hijau. Belakangan, muncul keputusan baru dari
pemerintah bahwa sekolah-sekolah yang berada di zona kuning juga diperbolehkan
melakukan pembelajaran tatap muka. Sekolah yang berada pada zona oranye dan
merah diharuskan tetap melanjutkan sistem Belajar Dari Rumah (BDR).
Data per
tanggal 3 Agustus 2020 menunjukkan bahwa 43% peserta didik berada pada wilayah
zona hijau dan kuning (htpp://covid.go.id). Artinya, sekolah-sekolah yang
menampung hampir separuh peserta didik di Indonesia tersebut harus mulai
bersiap menjalankan pembelajaran tatap muka. Oleh karenanya, adalah kebutuhan
yang mendesak untuk memikirkan bagaimana pembelajaran di masa kelaziman baru (new normal) ini dilakukan.
Mispersepsi terhadap Kelaziman Baru
Selama ini, terdapat pandangan
umum bahwa masa kelaziman baru adalah waktu dimana diberlakukan kembali
sejumlah aktivitas sebelum pandemi dengan disertai penambahan penerapan protokol
kesehatan secara ketat dalam rangka mencegah penyebaran virus COVID-19.
Pandangan semacam ini sepertinya juga terjadi di tingkat satuan pendidikan yang
bersiap untuk memulai pembelajaran tatap muka. Dalam penyiapan pembelajaran di
masa kelaziman baru, sekolah melakukan upaya pencegahan penyebaran COVID-19
melalui penjadwalan masuk bagi siswa, pengurangan durasi jam pelajaran, menyiapkan
sarana sanitasi yang memadai serta aturan-aturan lainnya.
Cara pandang seperti itu
menunjukkan sebuah kegagalan dalam menarik hikmah selama pandemi. Seperti kita
ketahui, selama wabah berlangsung sekolah menjalankan sistem BDR yang mana
pembelajaran dilakukan secara jarak jauh sehingga guru dan siswa tidak bertatap
muka secara langsung. Dari pengalaman BDR tersebut setidaknya ada tiga hal yang
seharusnya dapat kita petik untuk meningkatkan mutu pembelajaran di masa
kelaziman baru ini.
Pertama, optimalisasi pemanfaatan teknologi dalam proses
pembelajaran. BDR telah memaksa setiap guru untuk membangun kesadaran baru
tentang pemanfaatan teknologi dalam mendukung proses pembelajaran, baik dalam
membangun interaksi guru-siswa maupun dalam memperluas sumber-sumber belajar. Memang
terdapat catatan bahwa tidak semua sekolah dapat mengoptimalkan pemafaatan
teknologi selama BDR berlangsung. Namun, pada sekolah-sekolah yang mampu
memanfaatkan tekonologi secara optimal, hasil yang diperoleh sangat
menggembirakan.
Kedua, menguatnya partisipasi orang tua dalam mendukung belajar
peserta didik. Seperti dikatakan oleh Christopher Bjork (2006), partisipasi
orang tua di sekolah selama ini umumnya terbatas pada bentuk-bentuk sumbangan dana
yang digunakan untuk membangun sarana dan prasarana sekolah. Namun, dalam
pelaksanaan BDR para orang tua secara aktif mendampingi anak dalam proses
pembelajaran jarak jauh. Partisipasi aktif orang tua ini tentunya tidak hanya
mendorong meningkatkan kualitas pembelajaran tetapi juga menciptakan pengalaman
belajar yang bermakna bagi anak.
Ketiga, pendidikan kecakapan hidup
sebagai salah satu substansi pembelajaran. Surat Edaran Mendikbud nomor 4 tahun
2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam masa Darurat Penyebaran
COVID-19 salah satunya menyebutkan bahwa pelaksanaan BDR dapat difokuskan pada
pendidikan kecakapan hidup antara lain mengenai pandemi COVID-19. Artinya,
pengalaman pembelajaran di masa pandemi ini memberikan pengalaman tentang
bagaimana praktik pendidikan kontekstual dijalankan. Jika dilanjutkan di masa
kelaziman baru, praktik semacam ini dapat menjadi jawaban atas kritik terhadap
pembelajaran di sekolah yang selama ini dipandang terputus dari kehidupan
sehari-hari.
Persiapan Pembelajaran di Masa Kelaziman Baru
Bertolak dari cara pandang di
atas, pembelajaran pada masa kelaziman baru nanti idealnya tidak sebatas
menambah protokol kesehatan atas praktik pembelajaran lama. Pengalaman selama
BDR seharusnya dapat dipetik sebagai pelajaran untuk mengembangkan proses
pembelajaran pada masa kelaziman baru yang lebih mengoptimalkan teknologi dan
meningkatkan partisipasi orang tua, serta menghadirkan pendidikan kontekstual
di sekolah. Untuk itu, setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dilakukan.
Pertama, perluasan akses perangkat dan
jaringan internet untuk guru dan siswa. Optimalisasi pemanfaatan teknologi
dalam proses pembelajaran mensyaratkan adanya jaringan internet dan perangkat
digital (seperti: laptop, tablet, smartphone).
Untuk itu, jaminan atas ketersediaan jaringan internet yang stabil, subsidi
kuota internet, serta bantuan perangkat digital menjadi sangat diperlukan.
Penyediaan akses terhadap perangkat digital dan jaringan internet ini kiranya
dapat membuat proses pembelajaran lebih efisien (tidak perlu lagi anggaran
cetak buku), efektif (mampu menjangkau lebih banyak sumber belajar), dan merata
(distribusi bahan ajar lebih luas).
Kedua, peningkatan kapasitas guru. Bagaimanapun
guru memiliki peran paling sentral dalam menghadirkan pembelajaran yang bermutu
(Aris R. Huang, Shintia Revina, Rizki Fillaili, dan Akhmadi, 2020). Pengalaman
pembelajaran di masa pandemi ini kembali mengingatkan tentang pentingnya
peningkatan kapasitas guru terutama terkait dengan kecakapan digital serta
menghadirkan pembelajaran yang bermakna bagi siswa di Indonesia. Ke depan
tuntutan guru tidak hanya sebatas mengajarkan materi dalam buku pelajaran
melainkan harus kreatif dan inovatif mendayagunakan berbagai sumber belajar dan
menghadirkan proses pembelajaran kontekstual bagi siswa.
Ketiga, pemberdayaan orang tua. Usaha untuk meningkatkan
partisipasi orang tua dalam proses pembelajaran perlu terus dilakukan. Selama
ini, berbagai hal turut menghambat keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak
di sekolah, antara lain: persepsi orang tua bahwa pendidikan/pengajaran adalah kewenangan
sekolah, rendahnya kecakapan orang tua dalam mendampingi anak belajar, maupun
ketiadaan waktu karena harus bekerja. Satuan pendidikan kiranya perlu lebih
mengenali berbagai permasalahan yang menghambat partisipasi orang tua tersebut
dan melakukan berbagai upaya pemberdayaan dalam rangka meningkatkan partisipasi
mereka.