Kabar
Mengatasi Masalah Anak Tidak Sekolah melalui Pendidikan Nonformal
PSKP, Jakarta – Pascapandemi COVID-19, pendidikan di Indonesia tidak hanya dihadapkan pada tantangan penurunan kualitas belajar siswa, tetapi juga potensi peningkatan angka putus sekolah.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022 memperkirakan 7,6% populasi anak dan remaja usia 7-18 tahun di Indonesia tidak bersekolah. Kondisi tersebut disebabkan oleh berbagai situasi, seperti kondisi ekonomi yang mengharuskan mereka bekerja, tinggal di daerah dengan akses yang sulit, dan berbagai hambatan lainnya. Persentase anak tidak sekolah (ATS) diperkirakan akan meningkat pascapandemi, karena pembelajaran tatap muka dihentikan di hampir seluruh sekolah di Indonesia selama pandemi.
ATS merupakan permasalahan global yang mendesak. Mirisnya, Indonesia merupakan negara dengan jumlah ATS terbesar di Asia Tenggara, yakni sebanyak 3,9 juta anak usia sekolah pada 2024. Data tersebut disampaikan oleh Chief of Education UNICEF Indonesia, Katheryn Bennett dalam webinar Pendidikan Nonformal sebagai Jalur Pendidikan Alternatif bagi Anak Putus Sekolah di Indonesia yang diselenggarakan PSKP Kemendikbudristek berkerja sama dengan UNICEF Indonesia pada 3 September 2024.
Selama ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi ATS di Indonesia. Keterbatasan daya tampung di sekolah formal menyebabkan permasalahan ATS sulit ditangani. Dalam hal ini, layanan pendidikan nonformal (PNF) menjadi kabar baik yang dapat menjadi salah satu alternatif solusi untuk mengatasi anak tidak sekolah, alih-alih hanya membebankannya pada sekolah formal. Selain itu, PNF juga dapat memberikan kesempatan kepada para peserta didiknya untuk meningkatkan kompetensi, mengasah keterampilan, dan meraih impian selayaknya peserta didik di pendidikan formal.
Pengentasan masalah ATS melalui PNF merupakan salah satu upaya pemulihan pembelajaran. Jumlah PNF yang cukup besar di Indonesia dan jenis pendidikan yang beragam, memberikan bukti bahwa PNF memiliki peluang besar dalam mengatasi ATS di Indonesia. “Selain itu, PNF juga dapat menjadi solusi untuk menjangkau anak-anak yang tidak pernah merasakan bangku sekolah karena berbagai macam keterbatasan dan tantangan”, ujar Kepala PSKP, Irsyad Zamjani dalam sambutannya.
Dalam kerangka kebijakan, Pemerintah telah berupaya agar kualitas PNF dapat setara dengan pendidikan formal, baik SD/MI, SMP/MTs, maupun SMA/MA dalam bentuk pendidikan kesetaraan Paket A, Paket B, dan Paket C. “Salah satu substansi pembelajaran yang ditawarkan dalam pendidikan kesetaraan ini adalah materi vokasional atau pendidikan kecakapan hidup (life skills) untuk memberikan bekal keterampilan bagi peserta didiknya”, terang Plt. Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbudristek, Aswin Wihdiyanto, yang juga hadir menyampaikan paparannya.
Lebih lanjut, Aswin memaparkan strategi implementasi pendidikan kesetaraan, seperti pemberian layanan pendidikan hingga lulus dan perluasan akses pada pendidikan kesetaraan untuk menjangkau dan melayani ATS dengan keterbatasan kondisi ekonomi, akses sekolah yang jauh, terpaksa harus bekerja, berhadapan dengan hukum, dan berbagai macam hambatan lainnya. Dalam hal ini, implementasi Merdeka Belajar relatif relevan dengan prinsip pendidikan kesetaraan yang fleksibel, kontekstual, dan bermakna bagi peserta didik
Pendidikan nonformal memiliki sejumlah keunggulan, seperti beragamnya jenis layanan yang ditawarkan serta konten pembelajaran yang tidak hanya akademik tetapi juga terkait keterampilan hidup dan vokasi. Selain itu, modalitas pembelajaran dalam pendidikan nonformal adalah fleksibilitas penyelenggaraan sehingga tidak menghalangi peserta didik mengikuti pendidikan sambil tetap bekerja.
Pendidikan nonformal juga memberikan sertifikat kesetaraan atau ijazah kepada peserta didik yang telah menyelesaikan pendidikannya. Hal ini terangkum dalam hasil studi UNICEF yang disampaikan Education Specialist UNICEF Indonesia, Suhaeni Kudus dan peneliti lapangan, Ila Rosmilawati. Selain itu, studi UNICEF tersebut menemukan potensi sebesar 11.000 lembaga PNF yang dapat menampung sekitar 1,6 juta warga belajar.
Studi UNICEF melibatkan 20 lembaga PNF di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Bone dan Pemalang. Hasil studi menyimpulkan bahwa salah satu daya tarik pendidikan nonformal adalah dapat menghasilkan lulusan yang memiliki keterampilan tertentu untuk mempermudah peserta didik memperoleh pekerjaan di masa depan. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan dan penguatan kualitas pendidikan nonformal secara menyeluruh, seperti penyelarasan kurikulum dengan kebutuhan peserta didik dan kebutuhan pasar kerja.
Studi tersebut juga mengungkap kompleksitas tata kelola PNF yang melibatkan lintas kementerian, kendala dalam pengelolaan PNF yang berkisar pada pemenuhan standar nasional pendidikan, terbatasnya kapasitas SDM di dinas pendidikan dalam memberikan informasi pengelolaan PNF, serta kendala pendanaan untuk operasional PNF yang sedikit banyak memengaruhi kualitas layanan PNF. Oleh karena itu, peningkatan kualitas pengelolaan PNF perlu dilakukan secara menyeluruh, antara lain dengan menyelaraskan kurikulumnya dengan kebutuhan peserta didik dan kebutuhan pasar kerja untuk meningkatkan persepsi positif publik terhadap PNF.
Kegiatan webinar ini disambut positif oleh para peserta yang terdiri dari berbagai kalangan, baik praktisi PNF maupun dari unsur sekolah formal. Studi UNICEF mengenai Pendidikan Nonformal sebagai Jalur Pendidikan Alternatif bagi Anak Putus Sekolah di Indonesia dapat diakses di sini. (Rahma Luthfia)