Kembali ke Atas

Kabar

Melampaui Zonasi

Oleh: Irsyad Zamjani


Filosofi dan cita-cita yang diinginkan dari kebijakan penerimaan peserta didik baru atau PPDB zonasi sangat jelas. Sang pencetus, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Muhadjir Effendy, menginginkan agar pendidikan dikembalikan ke khitahnya sebagai sarana emansipasi sosial. Pendidikan tidak dapat menjadi arena diskriminasi, kastanisasi, atau pelanggeng feodalisme modern.

Zonasi adalah sarana, bukan tujuan. Ia mengabdi pada cita-cita keadilan sosial. Namun, mengapa harus lewat zonasi?

Ini mungkin cerita klasik, tetapi layak disinggung kembali sebagai pengingat. Di masa lalu, sekolah-sekolah negeri tersegregasi ke dalam kotak-kotak sekolah favorit dan sekolah non-favorit. Sekolah-sekolah favorit ini menjadi demikian karena punya reputasi dan fasilitas pilihan.

Agar diterima di sekolah tersebut, berlaku seleksi ketat baik secara akademik maupun non-akademik. Jalur terakhir ini tak jarang melibatkan modal materi dan di sejumlah tempat kadang juga koneksi politik. Favoritisme ini pada gilirannya tidak hanya menghasilkan pengotakan sekolah berbasis akademik, tetapi juga sosial ekonomi, bahkan mungkin politik.

Favoritisme sistemik
Favoritisme ini bergulir secara vertikal, di mana sekolah favorit di jenjang atasnya, hingga perguruan tinggi, biasanya juga memberikan privilese bagi satuan pendidikan sejenis dari jenjang di bawahnya.

Lebih jauh lagi, adakalanya ini juga akan berkaitan dengan koneksi dalam hal karier dan pekerjaan. Jaringan alumni sekolah-sekolah favorit biasanya juga menguasai berbagai sektor dan saling membantu dalam rekrutmen formasi ataupun posisi. Bagian ini mungkin tidak sepenuhnya salah. Bukankah jejaring adalah bagian dari modal sosial?

Yang problematik adalah saat akumulasi favoritisme ini didukung secara sistematis oleh kebijakan negara. Sekolah-sekolah elite dikapitalisasi sebagai sarana mempertahankan citra tentang kualitas pendidikan di sejumlah daerah.

Pemerintah dan pemda tak ingin kehilangan kebanggaan akan sekolah-sekolah penuh prestasi di wilayahnya. Keberadaan sekolah-sekolah ini dapat menutupi berbagai permasalahan pendidikan yang ada, yang mungkin berisiko secara politik. Akibatnya, anggaran, bantuan fasilitas, dukungan pelatihan, dan berbagai program prioritas lain sering kali terkonsentrasi pada sekolah-sekolah tertentu.

Padahal, berbagai dukungan tersebut dapat dialokasikan ke banyak sekolah lain yang jauh lebih membutuhkan. Sekolah-sekolah paling membutuhkan ini justru sering dianggap sebagai sekolah kelas dua. Mereka harus berjuang dulu membangun reputasi sebagai sekolah berprestasi agar mendapatkan perhatian pemerintah.

Membangun komunitas
Arsitektur pengelolaan pendidikan yang segregatif semacam ini perlu diakhiri karena bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Caranya, sekolah harus terbuka untuk semua kalangan, yang miskin ataupun kaya, yang secara akademik baik maupun kurang.

Pintu sekolah juga harus terbuka pertama kali pada mereka yang tinggal lebih dekat dengan sekolah. Sekolah, terutama sekolah negeri, adalah pelayan bagi masyarakat sekitarnya.

Ini juga yang menjadi tujuan dari desentralisasi, mendekatkan layanan publik kepada penerimanya. Sangat ironis melihat seorang anak yang tinggal dekat dari sekolah, tetapi karena alasan ekonomi atau nilai hasil belajar terpaksa harus mencari sekolah yang jauh dari rumahnya, apalagi sampai berhenti sekolah.

Tugas sekolah negeri di dekatnya adalah mendidiknya. Jika tidak, sekolah tersebut akan kehilangan relevansi keberadaannya di wilayah itu.

Selain itu, membangun kedekatan sekolah dan komunitasnya juga menjadi cara efektif mewujudkan filosofi Ki Hadjar Dewantara tentang tripusat pendidikan: sekolah, keluarga, dan komunitas. Sekolah yang berakar pada masyarakat akan mudah membangun aliansi mendukung tumbuh kembang anak. Seperti ungkapan terkenal masyarakat Afrika, it takes a village to raise a child. Butuh orang satu kampung untuk membesarkan seorang anak.

Tantangan
Sangat disadari, jalan menuju keadilan sosial memang berliku. Seperti yang sudah kita lihat belakangan ini, mengubah pola pikir yang mengakar puluhan tahun menjadi tantangan utama. Sebagian orang bahkan rela melakukan berbagai cara untuk menyiasati aturan agar dapat memasukkan anaknya ke sekolah tertentu. Mereka tidak menyadari bahwa dengan melakukan hal itu, ada hak orang lain yang dilanggar.

Perilaku tersebut memang bukan sepenuhnya kesalahan orangtua yang menginginkan hal terbaik untuk anaknya. Ini sebagian berakar pada isu kedua yang bersifat teknis dan kerumitannya berada di sini.

Daya tampung sekolah negeri di beberapa daerah harus diakui memang belum sepenuhnya ideal. Sebagian orangtua memasukkan anaknya ke sekolah swasta bukan karena pilihan, melainkan karena keterbatasan kapasitas. Keterbatasan ini juga menjadi celah munculnya kawasan blank spot, yaitu wilayah tempat tinggal yang jauh dari sekolah dan terlewat dari peta zonasi.

Pemda melalui institusinya yang relevan, seperti dinas pendidikan dan dinas kependudukan, perlu secara berkala melakukan analisis kebutuhan daya tampung berdasarkan data jumlah atau proyeksi pertumbuhan penduduk usia sekolah di wilayah masing-masing.

Jika terjadi kesenjangan (gap) antara bangku yang tersedia dan kebutuhan, dapat segera dimitigasi cara pemenuhannya. Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui penambahan ruang kelas sepanjang proporsional, pembangunan unit sekolah baru, kerja sama dengan sekolah swasta, atau kerja sama dengan pemda terdekat.

Melampaui zonasi
Di atas semua diskusi tentang PPDB zonasi, hal yang lebih utama adalah kesiapan sekolah pasca-PPDB. Data Dinas Pendidikan DKI Jakarta (2020), misalnya, menunjukkan proporsi siswa baru dengan nilai rapor tinggi ataupun rendah menyebar rata di semua SMAN pascazonasi.

Studi RISE (2022) di Kota Yogyakarta juga menunjukkan peningkatan mobilitas siswa dari kelompok sosial ekonomi bawah ke SMP negeri favorit.

Artinya, sekolah-sekolah negeri pascasistem zonasi memiliki profil siswa yang jauh lebih beragam. Sekolah-sekolah di daerah tidak lagi tersegregasi berdasarkan prestasi akademik atau kondisi sosial ekonomi. Para juara Olimpiade sains atau kompetisi seni dan olahraga kini dapat berasal dari sekolah mana pun.

Namun, pekerjaan rumah sesungguhnya menanti. Para kepala sekolah dan guru harus memiliki pemahaman dan cara bagaimana mendidik siswa-siswa yang lebih beragam ini. Sekolah perlu membuat program-program pembelajaran dan intervensi lain yang berorientasi pada variasi kebutuhan dan karakteristik siswa.

Para juara perlu terus dimotivasi dan digerakkan sebagai inspirasi bagi sejawatnya di sekolah untuk tumbuh bersama. Ini sekaligus untuk menjawab kekhawatiran bahwa anak-anak berprestasi hanya dapat mengembangkan dirinya di sekolah tertentu. Demikian halnya mereka yang belajar lebih lambat karena berbagai alasan perlu dibantu agar dapat mengoptimalkan kemampuannya. Hanya dengan cara ini keadilan sosial dan kualitas pendidikan dapat berjalan seiring.

Pertama kali terbit di: kompas.id
Sumber foto: kompas.id