Kembali ke Atas

Kabar

Mengakhiri Kekerasan di Sekolah

Oleh: Irsyad Zamjani


Berdasarkan hasil Asesmen Nasional 2022, sebanyak 36,3 persen murid di Indonesia berpotensi mengalami perundungan, 34,5 persen berpotensi mengalami kekerasan seksual, dan 26,9 persen berpotensi mengalami hukuman fisik. Praktik kekerasan di dunia pendidikan masih menjadi pandemi yang mesti segera diakhiri.

Angka kasus kekerasan itu diungkapkan dalam rilis Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, sebagaimana disampaikan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, awal Agustus 2023.

Kekerasan di dalam lembaga pendidikan memang bukan gejala baru. Akarnya sudah tertancap puluhan tahun, bahkan ratusan tahun. Dapat dikatakan bahwa kekerasan di sekolah berumur setua sekolah itu sendiri.

Bentuknya beragam, mulai dari pelecehan verbal hingga pembunuhan. Pada tahun 1664, misalnya, para siswa bersenjata di Perancis menyerang sekolah Jesuit La Fleche untuk membebaskan teman mereka yang dikurung di sekolah. Sementara, di Amerika Serikat pada 1870, Etta Barstow, seorang guru asal Massachusetts, tewas akibat dilempari batu oleh empat siswa yang merasa sakit hati karena terkunci di luar gedung sekolah.

Sejak awal, sekolah memang bukan hanya tempat menangguk pengetahuan, melainkan juga melatih disiplin dan ketaatan pada nilai-nilai moral. Hal ini disebabkan sekolah dibentuk untuk menyiapkan warga suatu komunitas. Awalnya ia lekat dengan komunitas keagamaan dan sejak abad ke-19 pendirian sekolah didorong oleh kepentingan pembentukan negara-bangsa. Bersekolah juga mulai menjadi kewajiban.

Ekspansi wajib sekolah membuat tuntutan pendisiplinan semakin menguat. Hal ini disebabkan tidak semua anak mau bersekolah sehingga mereka harus dipaksa beradaptasi dengan budaya dan aturan sekolah. Cara yang dipandang efektif untuk melatih disiplin anak adalah lewat indoktrinasi dan sanksi.

Para siswa didoktrin dengan keharusan untuk menginternalisasi dan menjalankan norma dan aturan dengan penuh ketaatan. Jika gagal, mereka akan memperoleh sanksi.

Proses indoktrinasi dan sanksi tersebut menghasilkan kepatuhan. Ahli pendidikan Philip W Jackson dalam bukunya, Life in Classrooms (1990), mengamati bahwa sekolah-sekolah di Amerika Serikat pada era 1960-an lebih menuntut ketaatan pada prosedur daripada capaian akademik.

Siswa teladan, tulis Jackson, bukanlah yang pintar, melainkan yang patuh. Perhatian guru kepada siswa lebih didorong oleh ”pelanggaran pada aturan dan rutinitas sekolah daripada tanda-tanda tentang kurangnya kemampuan intelektual siswanya” (hlm 35).

Lalu, mengapa kekerasan?

Hukuman fisik
Semua berawal dari hukuman fisik (corporal punishment). Sejak dulu, sekolah-sekolah kerap menggunakan hukuman fisik sebagai cara pendisiplinan. Para peneliti bersepakat bahwa hukuman fisik adalah pangkal dari praktik kekerasan di sekolah (Arcus, 2002).

Sosialisasi hukuman fisik yang eksplisit dari otoritas penting di sekolah memberi pesan kepada anak-anak bahwa praktik kekerasan adalah norma dan kewajaran. Siapa pun yang punya kapasitas dapat melakukan kekerasan.

Selain itu, pemberian hukuman fisik hampir selalu melibatkan emosi. Para penghukum tidak sekadar menjalankan prosedur, kalaupun ada, tetapi juga menginternalisasi emosi pribadi dan mengekspresikannya melalui kemarahan atau kekerasan verbal lainnya.

Sering kali hukuman fisik ini dipertontonkan dengan maksud menimbulkan efek jera bagi yang lain. Namun, sejumlah riset menunjukkan bahwa alih-alih efek jera, yang muncul justru perlawanan dan balas dendam (Midlarsky dan Klain, 2005).

Pada beberapa kasus, jika hukumannya berlebihan, dendam itu akan dibalaskan langsung kepada guru atau kepala sekolah.

Akan tetapi, pada banyak kasus lain, dendam itu sering kali juga dilampiaskan kepada siswa lain yang lebih lemah, misalnya para junior atau siswa perempuan. Bentuk-bentuk kekerasan ini lalu bermetamorfosis, bukan hanya dalam konteks atau bentuk hukuman pendisiplinan, melainkan juga ekspresi lain yang disebabkan alasan-alasan pribadi.

Semua bentuk kekerasan ini dapat terjadi karena adanya relasi kuasa.

Relasi kuasa
Seperti kata filsuf Perancis, Michel Foucault, pengetahuan adalah sumber akumulasi kuasa paling efektif.

Kepala sekolah dan para guru menjadi subyek kuasa, bukan hanya karena mereka menjadi otoritas yang dapat menentukan karier siswa di sekolah. Lebih dari itu, karena mereka adalah sumber pengetahuan. Mereka diyakini sebagai pengejawantahan dari nilai-nilai ideal yang diajarkan sekolah.

Legitimasi mereka diperoleh tidak hanya dari peran formalnya, tetapi juga dari konstruksi sosial tentang figur terpelajar dan terhormat. Proses sosialisasi yang berlangsung lama membuat kesepakatan sosial ini terinternalisasi menjadi keyakinan kultural.

Mempertanyakannya adalah sebuah tabu. Para pendidik adalah sosok yang wajib dihormati dan dipatuhi. Bahkan, terutama dalam institusi pendidikan keagamaan, tak jarang pula disakralkan.

Akan tetapi, subyek kuasa di sekolah bukan hanya para pendidik. Karena pengetahuan juga terdistribusi kepada murid, mereka yang lebih dulu memperolehnya juga berpotensi menjadi subyek kuasa. Di sinilah peran para murid senior muncul.

Selain itu, atribut sosial ekonomi ataupun budaya sang murid juga dapat menjadi sumber kuasa. Anak-anak dari keluarga berpengaruh, entah karena status sosial budaya atau ekonomi, dapat mengkapitalisasi status keluarganya untuk mengakumulasi kuasa.

Namun, yang lebih problematik daripada bagaimana kuasa diperoleh adalah bagaimana ia diterapkan. Pada mulanya, penerapan kuasa dilakukan atas nama penegakan nilai-nilai atau aturan. Akan tetapi, karena melibatkan keyakinan kultural dan batasan struktur formal yang sumir, tak jarang penerapan kuasa ditujukan untuk memenuhi kepentingan, aspirasi, atau hasrat individual.

Relasi kuasa yang dilegitimasi oleh perangkat kultural seperti kehormatan atau kepintaran ini membuat sekolah menjadi lahan subur bagi berkembangnya praktik kekerasan terselubung, seperti diskriminasi, perundungan, hingga pelecehan seksual.

Praktik-praktik ini umum diketahui, tetapi banyak didiamkan karena dianggap kewajaran. Siswa pintar yang merundung temannya yang lambat belajar dipandang wajar karena kepintaran adalah norma ideal di sekolah.

Apalagi, kekerasan terselubung ini sebagian besar juga tidak menimbulkan perlawanan. Para korban tidak bersuara atau melawan bukan karena menerima, melainkan karena tidak ingin menghadapi konsekuensi yang lebih buruk.

Korban pelecehan seksual lebih banyak yang memilih diam karena stereotipe budaya yang bias jender berpotensi menjadikan mereka sebagai korban berkali-kali.

Para korban yang tidak berdaya ini akan menyimpannya sebagai trauma. Sesuatu yang dapat mereka bawa seumur hidup dalam bentuk-bentuk seperti ketidakpercayaan diri, ketakutan, kebencian, bahkan internalisasi perilaku kekerasan sendiri.

Mengakhiri kekerasan
Tentu saja kita tidak ingin mewariskan generasi yang hidup dengan trauma. Oleh karena itu, perlu dilakukan dekonstruksi dan demistifikasi terhadap berbagai hambatan struktural dan kultural yang menjadikan kekerasan di sekolah sebagai praktik normal dan tidak dapat dilawan.

Semua warga sekolah perlu diyakinkan bahwa membicarakan dan melaporkan adanya praktik kekerasan bukan hal tabu, siapa pun pelakunya.

Untuk itu, dibutuhkan perangkat hukum yang mampu memberikan edukasi, advokasi, dan sanksi berbasis keberpihakan kepada korban.

Para pelapor, terutama jika mereka korban, harus dilindungi dan diberikan pendampingan. Sebaliknya, para pelaku juga perlu diberikan sanksi tegas. Ini sebagai pengingat bahwa sekolah bukan lagi rumah untuk kekerasan.

Para pendidik perlu menemukan cara-cara baru yang lebih kreatif dan positif dalam melatih budaya disiplin para siswa. Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan perlu dikawal penerapannya dan diharapkan dapat menjadi panasea agar pandemi kekerasan di sekolah segera berakhir.


Pertama kali terbit di: kompas.id
Sumber foto: kompas.id