Kembali ke Atas

Kabar

Pancasila dan Ideologi Tanpa Nama

Oleh: Irsyad Zamjani


Selama hampir delapan dasawarsa usianya, Pancasila telah berhasil menjadi penjaga keberlangsungan Indonesia sebagai negara-bangsa.

Ia menjadi gagasan tentang Indonesia yang bersatu dan sejahtera yang dibangun di atas keberagaman budaya, agama, dan pemikiran. Ia digali Soekarno dari berbagai kearifan budaya yang ada di Nusantara selama ratusan tahun sejarahnya.

Gagasan inilah yang menjadi perekat masyarakat multibudaya yang mewarisi wilayah kepulauan yang amat kaya dan luas ini. Gagasan ini disosialisasikan dengan cara yang berbeda-beda dari generasi ke generasi.

Kita pernah berada pada masa di mana penerjemahan gagasan Pancasila dikendalikan oleh negara dan diindoktrinasikan dalam berbagai forum penataran dan lembaga pendidikan. Narasi dari tafsir tersebut menjadi hafalan di luar kepala.

Tujuan dari dominasi penafsiran itu adalah membendung pengaruh dua ideologi besar yang saat itu sedang berkompetisi secara global. Keduanya adalah liberalisme dari Blok Barat dengan pesan demokratisasi yang bisa mengancam legitimasi rezim berkuasa di satu sisi dan komunisme dari Blok Timur yang masih menyisakan sentimen kuat pada sebagian besar masyarakat di sisi lain.

Setelah kebangkitan masyarakat sipil pasca-Orde Baru, tuntutan penyegaran terhadap tafsir Pancasila yang monolitik menggema. Gagasan-gagasan baru bermunculan mewarnai percakapan publik. Para agamawan, budayawan, akademisi, dan aktivis sosial membawa berbagai wacana baru seperti toleransi, HAM, penguatan lembaga demokrasi, dan pemerataan ekonomi untuk memperkaya penafsiran Pancasila.

Sebagai sebuah gagasan untuk mendukung keberlangsungan komunitas imajiner bernama negara-bangsa, Pancasila telah ”menjalankan tugasnya” dengan baik. Namun, tantangan Pancasila saat ini bukan lagi tentang cerita besar negara-bangsa. Tantangan utama Pancasila adalah relevansinya dengan sikap dan gaya hidup komunitas bangsa itu sendiri.

Sejauh ini, Pancasila belum sepenuhnya berhasil mewujud ke dalam praktik hidup keseharian masyarakat Indonesia modern. Harus diakui, kita belum seberhasil Jepang, misalnya, yang mampu mengombinasikan berbagai warisan kearifan dan keyakinan seperti Buddhisme, Shintoisme, Konfusianisme, Bushido, hingga pengaruh Barat di masa Meiji dan sesudahnya menjadi suatu ideologi dan etika tanpa nama.

Etika dan nilai-nilai moral yang tidak mudah didefinisikan, tetapi sangat mudah dirasakan. Terlepas dari sejarah kelamnya, Jepang pasca-Perang Dunia II adalah salah satu rujukan penting di dunia tentang penerapan etika publik seperti disiplin, saling percaya, integritas, peduli, dan pembelajar.

Problem praksis
Selama perjalanan kebangsaan, gagasan Pancasila semakin menjadi cita-cita yang lebih mudah dikonseptualisasikan daripada direalisasikan.

Meski masih tegak bersatu sebagai bangsa, persoalan-persoalan klasik yang dilawan oleh Pancasila menyangkut intoleransi, problem demokrasi, dan kesenjangan masih membayangi perjalanan kebangsaan kita, bahkan dalam cara yang kian kompleks. Jika di masa lalu negara memiliki saham terbesar atas berbagai persoalan yang ada karena perannya yang begitu dominan, saat ini masyarakat sipil juga punya andil yang tak bisa dibilang marjinal.

Di masa lalu, ragam ekspresi budaya dan keagamaan susah dibayangkan karena kebijakan negara yang represif. Akan tetapi, saat ini pembatasan atas ekspresi keagamaan justru muncul karena menguatnya sikap-sikap intoleran di kalangan masyarakat sipil.

Survei nasional yang dilakukan PPIM pada 2021 menemukan 30,2 persen mahasiswa, yang merupakan generasi muda terdidik dan berpengaruh di kalangan masyarakat sipil, memiliki sikap intoleran. Hasil Asesmen Nasional Kemendikbudristek pada tahun yang sama juga mendapati baru 32 persen sekolah yang telah membudayakan iklim kebinekaan.

Persoalan lain yang juga masih muncul dalam era tafsir Pancasila yang lebih terbuka menyangkut praktik demokrasi. Sepanjang reformasi, kita mengalami lompatan yang sangat besar dalam demokrasi. Kita memiliki berbagai institusi demokrasi yang megah dengan aktivitas yang semakin partisipatif. Akan tetapi, meminjam para sosiolog Neoinstitusional, ada keterlepasan (decoupling) antara struktur formal demokrasi di satu sisi dan praktik demokrasi di sisi yang lain.

Kedaulatan rakyat dalam demokrasi pada dasarnya bukan semata tentang hak, melainkan juga tentang tanggung jawab sebagai warga negara. Partisipasi masyarakat dalam pemilihan pemimpin dan penentuan kebijakan publik adalah bentuk tanggung jawab warga negara menentukan nasib dan masa depan diri dan bangsanya.

Sayangnya, terutama dalam demokrasi elektoral yang menguras anggaran negara triliunan rupiah, partisipasi rakyat sering kali bersifat superfisial karena dilandaskan pada transaksi material. Di Pemilu 2024 lalu, misalnya, sejumlah pemimpin partai politik mengakui besarnya peran politik uang dalam memenangi suara.

Transaksi material ini mengalahkan program-program penting yang ditawarkan untuk memperbaiki keadaan. Lembaga-lembaga formal demokrasi ini belum berhasil melahirkan masyarakat yang punya kearifan kewargaan (civic virtue). Rakyat yang bisa mempertanggungjawabkan kedaulatan yang dimilikinya untuk menentukan masa depan mereka sendiri ataupun bangsa secara lebih luas.

Hal ini juga di antara hal yang membuat tujuan utama Pancasila, yaitu hadirnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, belum sepenuhnya terwujud. Tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia memang meningkat cukup pesat jika melihat produk domestik bruto (PDB) per kapita 4.920 dollar AS (2023) dibandingkan dengan hanya 79,4 dollar AS pada 1970. Namun, peningkatan kesejahteraan itu juga berjalan seiring peningkatan kesenjangan.

Pada masa Orde Baru, angka kemiskinan pernah mengalami penurunan cukup signifikan dari 60 persen (1970) hingga yang terendah 13,7 persen (1993).

Sementara itu, sepanjang seperempat abad reformasi, kemiskinan memang terus turun, tetapi dengan kecepatan yang tidak sebesar periode sebelumnya, dari 24,2 persen (1998) menjadi 9,4 persen (2023). Koefisien gini yang menunjukkan tingkat kesenjangan penduduk pada saat ini (0,39) juga lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 1990-an (0,30).

Melampaui narasi besar
Persoalan-persoalan yang berlawanan dengan semangat Pancasila di atas harus diakui juga merupakan cermin dari sikap hidup yang berkembang di masyarakat sendiri. Kepekaan dan tanggung jawab kewargaan belum muncul sebagai kesadaran kolektif. Pada taraf yang lebih mikro, nilai-nilai fundamental seperti disiplin, keterbukaan, integritas, kerja keras, dan kemandirian juga belum jadi gaya hidup individu.

Memahami makna dan filosofi Pancasila dengan benar adalah satu hal, tetapi menerapkannya dengan penuh kesungguhan dalam kehidupan sehari-hari adalah hal lain.

Inilah tantangan utama Pancasila saat ini. Ideologi ini terpenjara dalam narasi besarnya sendiri, yang membuatnya tidak mudah mengejawantah ke dalam praktik. Ia menjadi gagasan elitis yang tidak mudah dicerna oleh massa awam, terutama dalam era ketika jutaan informasi baru membanjiri mereka setiap hari.

Cara sosialisasi dan pengenalan Pancasila yang indoktriner dan teoretis membuat gagasan simbolik Pancasila lebih menonjol daripada substansi praksisnya. Pancasila lebih kerap muncul dalam bentuk doktrin dan narasi besar. Buku-buku tentang Pancasila dipenuhi dengan muatan tentang ide-ide, sejarah orang-orang besar, dan penghakiman siapa Pancasilais dan non-Pancasilais.

Hal ini membuat gagasan Pancasila sulit membumi. Oleh karena itu, siapa pun yang berwenang merumuskan sosialisasi Pancasila harus memiliki kerendahan hati untuk menurunkan nilai-nilai Pancasila menjadi artefak dan praktik budaya.

Tantangan utama Pancasila adalah relevansinya dengan sikap dan gaya hidup komunitas bangsa itu sendiri.

Ide Pancasila harus dapat diterjemahkan ke dalam praktik-praktik kebajikan sosial yang lebih populer, seperti berbagi, jujur, tepat waktu, apresiatif, cinta lingkungan, gotong royong, hingga kebiasaan antre.

Ini adalah benih yang jika terus-menerus dipupuk melalui pendidikan dan pembiasaan, secara organik akan membentuk warga negara yang bertanggung jawab. Nilai-nilai besar Pancasila akan mengisi alam bawah sadar manusia Indonesia secara permanen dan mengejawantah ke dalam sikap dan praktik hidup sehari-hari. Dengan demikian, Pancasila akan tetap hidup dalam sanubari dan perilaku kita sebagai nilai dan ideologi walau tanpa nama.


Pertama kali terbit di: kompas.id
Sumber foto: kompas.id